Quo Vadis Kurikulum 2013
Oleh: Fahrus Zaman Fadhly MPd* Sejak Indonesia berdiri 68 tahun silam, sebagai bangsa kita belum memiliki kemandirian dalam merumuskan masa depannya sendiri, termasuk dalam bidang pendidikan. Kerap kali, dalam merumuskan masa depan bangsanya, para pengambil keputusan mengacu pada cara berfikirnya (frame of reference) sendiri. Bukan pada analisis kebutuhan riil dan prioritas bangsanya. Negara besar seperti Indonesia ini sungguh aneh: sebuah negara dengan zonder grand design. Bangsa yang rancang bangunnya bersifat tambal sulam, bongkar-pasang dan cenderung memboroskan anggaran. ================================ HAL ini tercermin dari potret kasuistik pemberlakuan Kurikulum 2013 yang rencananya akan mulai diterapkan pada tahun ajaran baru, 15 Juli 2013. Penerapan Kurikulum 2013 ini terkesan dirancang secara terburu-buru, tidak matang, dan terancam tidak berkelanjutan. Guru yang nyata-nyata merupakan ujung tombak dari keberhasilan suatu kurikulum, bahkan yang mestinya berposisi sebagai curriculum developer justru diabaikan. Secara umum, Kurikulum 2013 ini memiliki jargon ‘penyederhanaan, tematik-integratif’, ‘mengurangi mata pelajaran, mengurangi materi pelajaran, menambah jam belajar’, ‘respons atas pergeseran paradigma belajar Abad 21’ serta ‘menghasilkan insan Indonesia yang produktif, kreatif, inovatif, dan afektif melalui penguatan sikap (tahu mengapa), keterampilan (tahu bagaimana), dan pengetahuan (tahu apa) yang terintegrasi’. Dalam situs resminya, www.kemdikbud.go.id, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengklaim bahwa pengembangan Kurikulum 2013 ini didasarkan pada hasil survei internasional tentang kemampuan siswa Indonesia. Terutama survei \"Trends in International Math and Science\" oleh Global Institute pada tahun 2007 dan Programme for International Student Assessment (PISA) pada tahun 2009 yang menempatkan siswa Indonesia rendah tingkat penalarannya dan kemampuan kognitif dan keahlian siswa membaca, matematika, dan sains. Namun, alasan utama pengembangan Kurikulum 2013 adalah bahwa Indonesia saat ini dan masa yang akan datang menghadapi berbagai tantangan berat yang mesti direspons secara baik. Di antaranya adalah kenyataan globalisasi yang ditandai dengan fenomena WTO, ASEAN Community, APEC dan CAFTA. Selain itu munculnya masalah lingkungan hidup, kemajuan teknologi informasi, konvergensi ilmu dan teknologi, ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge-based economy), kebangkitan industri kreatif dan budaya, pergeseran kekuatan ekonomi dunia, pengaruh dan imbas teknosains, serta mutu, investasi dan transformasi sektor pendidikan. Alasan pengembangan kurikulum 2013 yang bersifat moral-etik antara lain maraknya perkelahian antar pelajar, narkoba, korupsi, plagiarisme, kecurangan dalam ujian, gejolak masyarakat. Selain itu, munculnya persepsi di masyarakat seperti terlalu menitikberatkan pada aspek kognitif, beban siswa terlalu berat, dan kurang bermuatan karakter juga menjadi alasan pengembangan pengembangan kurikulum 2013. Melihat sejumlah tantangan masa depan tersebut, maka Kemendikbud memandang perlunya kompetensi masa depan yang harus dimiliki oleh para peserta didik. Yakni: (1) kemampuan berkomunikasi dengan baik; (2) kemampuan berfikir jernih dan kritis; (3) kemampuan mempertimbangkan segi moral suatu permasalahan; (4) kemampuan menjadi warga negara yang efektif; (5) kemampuan mencoba untuk mengerti dan toleran terhadap pandangan yang berbeda; (6) kemampuan hidup dalam masyarakat yang mengglobal; (7) memiliki minat luas mengenai hidup; (8) memiliki kesiapan untuk bekerja; serta (9) memiliki kecerdasan seusai bakat/minatnya. Sementara itu, Mendikbud Muhammad Nuh sendiri menyampaikan berulangkali kepada publik bahwa pengembangan kurikulum 2013 ini sudah ada dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014. Menurut Mendikbud, arah kurikulum 2013 ini sangat jelas. Yakni peningkatan kompetensi yang seimbang antara sikap (attitude), ketrampilan (skill), dan pengetahuan (knowledge). Secara pribadi, penulis yakin bahwa perumusan kurikulum 2013 dilandasi niat yang mulia. Bahkan, Mendikbud menyebut pengutamaan aspek afeksi, kognitif dan psikomotor paralel dengan prinsip ajaran Rasulullah tentang pendidikan dalam Islam. Namun, selalu terjadi kesenjangan antara konsep/kebijakan dan implementasi di lapangan. Antara konsep di satu sisi, dan implementasi di sisi lain berjarak terlalu lebar. Bila pada akhirnya gagal, Kurikulum 2013 akhirnya menjadi sebuah megaproyek yang menghambur-hamburkan keuangan negara yang secara susah payah didapat dari pajak rakyat dan eksploitasi sumber daya alam kita. Zaman memang selalu berubah, sebagaimana Heraclitus menyebut ‘pantei rei’. Segala sesuatu di dunia ini mengalami perubahan, kecuali perubahan itu sendiri yang kekal. Kendati demikian, cara pandang dan sikap kita yang salah dalam merespons perubahan zaman juga akan berdampak besar. Karena itu perlu urun-rembug yang intensif dan melibatkan banyak kalangan agar cara pandang dan sikap kita dalam merespons perubahan zaman tersebut benar dan tepat. Semangat otonomi daerah dan kreatifitas guru yang semula diakomodasi dalam Kurikulum KTSP sekarang dicabut, karena Kompetensi Inti dan indikator seluruhnya ditetapkan pemerintah pusat. Kurikulum KTSP telah memberikan ruang kreatifitas yang luas bagi guru untuk menjadi curriculum developer. Tetapi, Kurikulum 2013 seolah guru ‘dimanja’, seluruh hidangan sudah tersedia dan siap untuk disantap. Termasuk buku paket yang menelan biaya besar. Belum lagi, problem jam mengajar guru yang sebagian berlewah, dan sebagian lagi kurang. Padahal, guru yang bersertifikasi profesi harus memenuhi 24 jam mengajar. Bila tidak, tunjangan sertifikasi guru akan dicabut. Karena itu, demi memenuhi kuota jam mengajar ini, guru harus pontang-panting mengajar di sekolah yang lain. Bila di kota besar boleh jadi tidak terlalu menjadi masalah. Namun bagaimana bila jarak antar-sekolah dan kondisi geografis dan topografisnya amat sulit dijangkau guru? Karena itu, bila Kurikulum 2013 ini jadi diterapkan maka sebaiknya jam mengajar guru itu cukup 18 jam. Atau 24 jam mengajar itu termasuk juga aktifitas guru yang terkait perencanaan, implementasi dan evaluasi serta perwali-kelasan dan bimbingan terhadap siswa di kegiatan ekstra kurikuler. Kendati akan berlangsung secara bertahap dan terbatas, namun Mendikbud Muhammad Nuh membantah bahwa penerapan Kurikulum 2013 bukan uji coba. Pertanyaannya, mengapa diterapkan secara bertahap dan terbatas? Namun pada saat yang sama, Mendikbud mengklaim ini juga bukan uji coba tetapi penerapan? Kebijakan ini jelas mengandung paradoks karena Mendikbud mencoba berakrobat di level semantik. Dari sisi metodologi riset, ini jelas purposive sampling yang tidak merepresentasikan seluruh kondisi sekolah di Indonesia. Baik sekolah eks-RSBI, yang terakreditasi A, yang berada di kota dan di desa, yang di pelosok-terpencil maupun di kawasan yang sulit terjangkau. Nyatanya, prioritas sasaran implementasi Kurikulum ini adalah sekolah eks-RSBI dan sekolah yang terakreditasi A. Sehingga ada alasan bagi Kemendikbud untuk mengatakan bahwa ‘penerapan’ Kurikulum 2013 nanti sudah berhasil. Karena tentu saja, sekolah eks-RSBI dan yang terakreditasi A dipastikan tidak akan banyak kendala dalam menerapkan Kurikulum paling kontroversial ini. Mendikbud merilis ada 6.410 sekolah eks-RSBI dan berakreditasi A yang akan menjadi sasaran implementasi Kurikulum 2013. Masing-masing terdiri dari 2.598 SD, 1521 SMP, 1.270 SMA, dan 1.021 SMK. Sasaran prioritas implementasi Kurikulum 2013 semula akan dilakukan pada 132 ribu sekolah, kemudian berubah menjadi hanya 6.410 sekolah. Minimnya sosialisasi juga merupakan hal paling krusial bagi guru. Banyak pihak mengeritik, pemerintah tidak transparan dalam menjelaskan apa dan bagaimana Kurikulum 2013. Sosialisasi Kurikulum 2013 tidak menjelaskan secara teknis terkait apa dan bagaimana yang dibutuhkan guru. Jangankan guru-guru di pelosok dan terpencil negeri ini, guru-guru yang berada di ibu kota pun banyak yang belum mengetahui hal-ikhwal Kurikulum 2013. Selain itu, Mendikbud dan jajarannya tentu harus menyadari betul bahwa sosialisasi pelaksanaan Kurikulum 2013 yang terbatas pada struktur kurikulum mengenai jumlah pelajaran dan jam pelajaran, tanpa implementasi teknisnya secara detail akan berdampak pada kegagalan dalam praktiknya di lapangan. Akibat sosialisasi yang terbatas, tidak sedikit guru yang belum memahami Kurikulum 2013. Rendahnya tingkat pemahaman terhadap Kurikulum yang dialami guru ini jelas merupakan akan menjadi kendala besar tentang kelayakan Kurikulum 2013 ini untuk diberlakukan. Kita bisa membayangkan bagaimana seorang guru bisa menerapkan Kebijakan Kurikulum baru ini di kelas maupun di luar kelas, bila pengetahuan guru tentang kurikulum rendah. Guru akan merasa ‘galau’ bagaimana menerapkannya dalam praktik pembelajaran (learning-teaching process). Secara substansi, Kurikulum 2013 yang mengutamakan aspek afeksi atas kognisi dan psikomotor juga menyisakan problem paradigmatik. Justru hemat saya, persepsi umum bahwa berbagai perkelahian pelajar, narkoba, korupsi dan plagiarisme dan degradasi moral lainnya yang terjadi di masyarakat disebabkan oleh Kurikulum yang terlalu mengutamakan aspek kognisi belum sepenuhnya benar. Karena sejatinya setiap gerak aktifitas manusia itu dikontrol oleh kognisinya. Artinya, aspek afeksi dan psikomotor justru akan baik bila anak didik mampu mengelola kognisinya dengan baik. Jadi, ini masalah mindset. Bila mindset-nya benar, maka seluruh sikap dan keterampilan yang ditampilkan anak didik juga akan baik. Selain itu, krisis anak didik yang berkarakter juga tidak bisa otomatis mampu dijawab dengan kurikulum sebaik dan secanggih apa pun, karena yang terpenting dan mendesak adalah keteladanan dari guru dan para pemimpin bangsa ini. Jargon ‘penyederhanaan, tematik-integratif’ akan compatible bila hanya diterapkan di tingkat sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP). Sebaliknya tidak tepat bila diterapkan untuk tingkat SMA/SMK. Di SMA/SMK sudah harus dimulai ‘penjurusan’ dengan disiplin ilmu yang ketat. ‘Penyederhanaan, tematik-integratif’ menjadi tidak relevan karena mereka harus memilih prodi yang tepat dalam menyongsong profesionalisme dan kecendekiawanan mereka di perguruan tinggi. Yang paling rawan, implementasi Kurikulum 2013 ini terancam tidak berkelanjutan. Pasalnya, pada 2014 nanti, rezim SBY ini berganti. Belum tentu rezim pasca SBY akan melanjutkan pemberlakuan kebijakan kurikulum baru ini. Inilah titik paling krusial yang mesti menjadi pertimbangan pimpinan dan jajaran Kemendikbud. Bila ini terjadi, ratusan milyar hingga triliunan anggaran negara menjadi percuma. Karena itu, usulan banyak kalangan agar menunda penerapan Kurikulum 2013 ini patut dipertimbangkan. Quo Vadis Kurikulum 2013! (*) *Penulis Adalah Dosen PBI FKIP Universitas Kuningan Wakil Sekretaris Jenderal IKA UPI
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: