Alumni Trisakti Tolak Timur
JAKARTA - Sejumlah pihak terus menolak pencalonan Komjen Pol Timur Pradopo sebagai calon tunggal Kapolri. Bahkan kemarin (9/10) ratusan alumni Universitas Trisakti menandatangani petisi yang isinya mendesak agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menuntaskan Tragedi Trisakti 12 Mei 1998 dan menarik Timur Pradopo sebagai calon kapolri. “Kami para alumni Universitas Trisakti mendesak Presiden untuk menarik kembali Timur Pradopo sebagai calon kapolri, sampai terdapat kejelasan secara hukum tentang tragedi Trisakti Trisakti serta kejelasan peran Timur Pradopo di hadapan hukum,” seru Dedy Arianto salah seorang alumni Universitas Trisakti sambil membaca isi petisi di Jakarta kemarin (9/10). Memang seperti yang diketahui, saat meletus kerusuhan Mei 1998, Timur Pradopo menjabat sebagai Kapolres Jakarta Barat. Saat itu Timur berpangkat Letkol Polisi yang kini setara dengan AKBP. Haris Azhar, salah seorang alumni Trisakti yang kini menjadi Ketua Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyayangkan langkah Presiden SBY yang telah mengangkat Timur sebagai pengganti Jenderal Bambang Hendarso Danuri (BHD) sebagai kapolri. Menurutnya, Timur adalah pihak yang bertanggung jawab atas keamanan wilayah Jakarta Barat dalam Operasi Mantab Brata III, termasuk dengan pengamanan unjuk rasa mahasiswa Universitas Triksakti yang saat itu berlangsung panas. “Kami tahu Timur berada di lapangan saat terjadinya pembubaran secara paksa dan penembakan terhadap mahasiswa yang berunjuk rasa di depan kampus,” ucap alumni Fakultas Hukum itu. Seperti yang diketahui dalam tragedi tersebut empat mahasiswa Trisakti tewas tertembus peluru tajam. Mereka adalah , Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendrawan Sie. Keempatnya ditembak aparat keamanan saat melakukan aksi damai dan mimbar bebas di kampus A Universitas Trisakti, Jalan Kyai Tapa Grogol, Jakarta Barat. Aksi yang diikuti sekira 6.000 mahasiswa, dosen, dan civitas akademika lainnya itu berlangsung sejak pukul 10.30 WIB. Nah, berdasarakan penyelidikan resmi yang dilakukan alumni Trisakti dan beberapa pihak lainnya, Haris mengungkapkan bahwa aparat kepolisian, dan militer-lah yang terlibat melakukan penyerangan itu. Karenanya siapapun yang menjadi komandan dan pimpinan pasukan harus bertanggung jawab, termsuk Timur Pradopo. Alumni Trisakti yang lainnya, Muhammad Burhanuddin mengatakan bahwa para alumni akan mengirimkan petisi kepada SBY dan DPR untuk membatalkan pencalonan Timur. Hingga saat ini pihaknya telah mengumpulkan lebih dari 250 tandatangan para alumni dari seluruh jurusan dan fakultas. Bahkan, para alumni ini akan mengancam akan menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR saat fit and proper test Timur berlangsung. “Kami akan kerahkan semua kekuatan kami,” ucap Burhanuddin. Lebih lanjut, alumnus Fakultas Hukum ini mengatakan, jika Timur Pradopo tidak bersalah dalam peristiwa itu maka, seharusnya dia mengatakan di depan umum bahwa bukan dia yang bertanggung jawab, tapi masih petinggi-petinggi ABRI yang saat itu yang bertanggung jawab. Bagi para alumni itu, pengakuan Timur secara gantleman itu sudah cukup. Namun, jika jenderal yang kini menjabat sebagai Kepala Badan Pemeliharaan Keamanan ( Baharkam) itu tidak mau meminta maaf dan menjelaskan tragedy tersebut maka, sebaiknya DPR harus tegas menolak pencalonan Timur. Seperti diketahui, pada Senin (4/10) lalu Presiden SBY memilih Timur Pradopo yang sebelumnya menjabat sebagai Kapolda Metro Jaya sebagai Kapolri pengganti BHD. Agar tidak ada lompatan bintang (dua ke empat), sebelum diajukan pada DPR, Timur dinaikkan pangkatnya menjadi bintang tiga dengan cara dimutasi sebagai Kepala Badan Pemeliharaan Keamanan Polri. Selain tragedi Trisakti, Timur juga diincar dalam beberapa permasalahan. Yang pertama, pelemparan bom molotov ke kantor majalah Tempo Juli 2010. Hingga saat ini, belum ada satupun tersangka yang berhasil ditangkap. Pelemparan itu diduga terkait sampul majalah yang memasang gambar karikatur celengan babi. Disusul, penganiayaan aktivis ICW Tama S Langkun yang juga diduga terkait pemberitaan rekening gendut. Sejak Juli hingga Oktober, belum ada satupun tersangka yang berhasil dilacak Polda Metro Jaya. Kasus ketiga yang sangat menyita perhatian publik adalah bentrokan Jemaat HKBP dengan warga di Ciketing, Bekasi 19 September 2010 . Kasus ini memang sudah mempunyai tersangka ( 9 orang) namun penanganannya terkesan lamban dan reaktif. Yang keempat, bentrokan berdarah di Ampera, Jakarta Selatan Rabu (29/09) lalu juga disesalkan. Polda Metro Jaya gagal mengantisipasi informasi intelijen sehingga terjadi bentrok terbuka di depan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Di bagian lain, Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie meminta agar seleksi Timur itu diputuskan melalui musyawarah mufakat. “Bila musyawarah mufakat bisa dilakukan kenapa tidak,” kata Ical “sapaan akrab Aburizal- usai membuka Forum Konsultasi Partai Golkar di Jakarta, kemarin (9/10). Menurut Ical, konsep musyawarah mufakat penting untuk ditumbuhkan dalam iklim demokrasi. Musyawarah mufakat adalah salah satu jati diri bangsa yang saat ini terlupakan. Apalagi, sosok calon Kapolri nantinya akan menjadi pemimpin sebuah institusi hukum. “Sebisa mungkin (dengan musyawarah mufakat). Kalau tidak bisa, voting tentu tidak terhindarkan,” terangnya. Meski begitu, kata Ical, partai Golkar tidak akan memaksakan konsep musyawarah mufakat. Setiap anggota fraksi Partai Golkar memiliki hak menyuarakan pendapatnya. “Partai tidak akan mengebiri hak kader utk melakukan fit and proper test. Kita serahkan sepenuhnya ke anggota,”jelasnya. Apakah sosok Timur pantas menjadi Kapolri? Ical tidak mau berkomentar banyak atas posisi itu. Menurut dia, pantas atau tidaknya Timur tergantung sepenuhnya kepada Presiden. Apalagi, Presiden yang saat itu memutuskan untuk memilih Timur sebagai calon tunggal Kapolri baru. “Pantas tidaknya tergantung yang memakai, dalam hal ini Presiden,” ujarnya menegaskan. (kuh/bay/fal)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: