Gerakan Kurva Landai, Angin Segarkah atau hanya Angan Semata?

Gerakan Kurva Landai, Angin Segarkah atau hanya Angan Semata?

Oleh: Daeng Inar (Pemerhati Sosial Masyarakat)

SETELAH meminta rakyat untuk berdamai dengan Covid-19 beberapa waktu yang lalu, kini pemerintah memunculkan Gerakan Kurva Landai (GKL). Gerakan Kurva Landai digadang-gadang akan memperlambat, bahkan bisa memutus mata rantai penyebaran Covid-19 yang sedang menghantam Indonesia.

Menurut Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito, GKL adalah sebuah gerakan yang bertujuan untuk mengurangi jumlah kasus dengan cara memastikan tidak menularkan orang lain dan sebaliknya. Dengan kampanye jaga jarak, pakai masker, cuci tangan, dan menjaga imunitas, dinilai sangat membantu untuk pencegahan penularan Covid-19 (cnbcindonesia, 9/5/2020).

Kampanye ini sejalan dengan pernyataan Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy yang menyatakan ada kecenderungan penurunan kasus (Covid-19) di dalam negeri, per 7 Mei 2020. Hal ini menguatkan target yang diminta Presiden Jokowi, agar di bulan Mei ini terjadi penurunan kurva kasus infeksi Covid-19 (detik, 10/5/2020).

Melihat upaya terbaru pemerintah tersebut, mengundang pertanyaan besar dari kalangan masyarakat, khususnya para pakar kesehatan, bahwa apakah pemerintah memiliki sumber data lengkap untuk bisa mengukur kondisi rill di lapangan?

Data Lengkap Harus Dimiliki

Dalam kasus adanya wabah Covid-19 ini, merupakan urusan kesehatan. Sehingga untuk mengukur besaran kasus hingga detil perjalanan penyebaran virus ini, pihak lembaga kesehatan yang harus memegang peran dalam mewujudkan data rill-nya.

Dalam dunia kesehatan dibutuhkan data yang akurat dan lengkap untuk membaca, menganalisa hingga menarik kesimpulan. Dengan kesimpulan yang bisa dipertanggung jawabkan ini, dapat dilakukan pengolahan statistika, kemudian data itu diolah menjadi kurva epidemiologi (kurva epidemi).

Kurva epidemi ini biasanya digunakan untuk menjelaskan perjalanan pandemi, menentukan sumber dan kapan terjadinya penularan, menentukan puncak pandemi, memperkirakan akhir pandemi, serta mengevaluasi efektivitas tindakan pengendalian.

Dalam membuat kurva ini, memang diperlukan data-data yang akurat. Bukan sekadar data yang diperoleh dari laporan rumah sakit atau yang lainnya. Dalam pembuatannya diperlukan data detil seperti jumlah kasus baru tiap waktu dengan perbandingan misal patokan tanggal orang terinfeksi, tanggal orang mulai bergejala, dan tanggal orang diperiksa. Dari data tersebut kita dapat mengetahui laju penularan virus per hari. Asalkan dari pemeriksaan dan hasilnya dapat diperoleh dalam hari itu juga.

Sementara ketika melihat kondisi masyarakat saat ini, masih dibukanya titik sumber kerumunan seperti pasar dan dibolehkannya kembali armada transportasi beroperasi, tentu akan sulit memantau penyebaran virus dengan akurat. Apalagi pemerintah belum mampu menghadirkan alat rappid test yang bisa mengecek setiap warga di seluruh wilayah.

Pun terlihat dari data yang diperlihatkan oleh pemerintah bukan kurva epidemi tetapi kurva yang ditunjukkan hanya kurva harian kasus Covid-19. Di mana jumlah penambahan kasus (sumbu Y) hanya berbanding dengan tanggal pelaporan ke publik (sumbu X).

Hal ini dikuatkan oleh Tim Peneliti Eijkman-Oxford Clinical Research Unit (EOCRU) yang menyatakan hingga saat ini Indonesia belum menampilkan kurva epidemi. Mereka meragukan klaim penurunan kasus Covid-19 yang disampaikan sebelumnya (theconversation, 8/5/2020).

Salah Perhitungan Bisa Membahayakan Rakyat

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: