Bank Pusing

Bank Pusing

BANYAK orang ngiler melihat sukses besar Bank Central Asia (BCA). Tapi orang-yang-ngiler-itu hanya melihat kebesaran BCA saat ini.

Umumnya orang tidak melihat pengorbanan masa-masa awal dari pemiliknya. Terutama dan setidaknya di 12 tahun pertama masa pertumbuhan BCA.

Selama 12 tahun itu —mungkin lebih lama dari itu— pemiliknya tidak pernah menikmati hasil usaha BCA. Begitulah keterangan “orang dalam” BCA kepada saya.

Lebih dari 25 tahun yang lalu. Yang masih saya ingat sampai sekarang. Itulah nasihat beliau kepada saya, kalau ingin punya perusahaan yang kokoh.

Siapa pun sebaiknya juga mengingat prinsip yang dipegang pemilik awal BCA itu. Setiap kali perusahaan laba, selalu saja labanya itu dipakai untuk memperkuat perusahaan.

Tidak ada yang dinikmati pemiliknya. Tidak ayal kalau perusahaan seperti BCA menjadi sangat kokoh. Prinsip seperti itu pula yang kemudian saya pegang. Jangan buru-buru menikmati hasil usaha perusahaan.

Teruslah berkorban dan berkorban. Sampai perusahaan sangat kokoh.

Bahwa setelah kokoh saya harus meninggalkannya —karena sakit, karena ke PLN, karena ke BUMN, dan karena yang lain lagi— setidaknya sudah membuat sejarah. Toh pemilik lama BCA —keluarga Liem Sioe Liong— akhirnya juga meninggalkan bank yang dibangun dengan penuh pengorbanan itu.

Banyak yang menilai beruntunglah yang mengambil alih BCA. Grup Djarum Kudus itu. Langkah mengambil alih BCA itu dinilai langkah yang brillian. Sangat tepat. Sangat menguntungkan. Sangat enak. Benarkah demikian? Itu juga hanya penilaian dari luar. Saya juga pernah berbincang dengan “orang dalam” dari pemilik baru BCA. Ada nada menyalahkan diri sendiri —setelah sekian tahun memilikinya.

Sehebat-hebat langkah membeli BCA ternyata kalah hebat dengan yang membeli Astra International. BCA dan Astra sama-sama harus dilepas oleh pemiliknya. Di waktu yang hampir bersamaan.

Liem Sieo Liong, konglomerat No. 1 Indonesia saat itu, harus melepas BCA. William Soerjadjaya, konglomerat terbesar No. 2 Indonesia saat itu, harus melepas Astra. Dua-duanya terkait dengan krisis moneter tahun 1998. Harga jual BCA dan Astra ketika itu kurang lebih sama.

Sekarang ini, keduanya masih sama-sama hebat. “Tapi dengan uang yang sama, hasilnya ternyata lebih baik kalau membeli Astra,” ujar orang dalam itu. “Lihat sendiri perbedaan hasilnya sekarang. Lihat market capitalisation-nya. Begitu jauh,” katanya 8 tahun lalu.

Itu menandakan bahwa masih ada bisnis yang lebih hebat dari bank. Belum lagi soal aturan. Yang di perbankan jauh lebih rumit daripada di perusahaan umum seperti Astra. “Punya bank itu pusing. Pusingnya abadi,” ujar seorang teman yang memiliki bank.

Tidak ada peraturan yang lebih rumit daripada peraturan untuk menjadi pemilik bank. Pusing itu pula yang kini dirasakan oleh 7 pemilik bank bermasalah. Yang kini lagi diawasi ketat oleh OJK (Otoritas Jasa Keuangan).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: