Kembali Percaya

Kembali Percaya

Kalau di Tiongkok, Pemda bisa menyita apartemen yang masih kosong untuk tempat karantina seperti itu. Mereka membuat Perda sebagai dasar hukumnya. Rumah kosong, rumah yang lagi disewakan, sekolah-sekolah, harus dimanfaatkan.

Pekerjaan para relawan pun menjadi lebih konkret. Relawan mana di RT mana dengan pekerjaan apa. Mahasiswa, anak-anak SMA, Pramuka, Karang Taruna, Bonek-Bonita pasti bisa mengatasi di sektor relawan itu.

Pertanyaan besarnya: bagaimana cara mengawasi agar yang positif nanti tidak keluyuran?

Tidak ada jalan lain: teknologi harus turun tangan. Yakni teknologi monitoring. Yang Apps-nya sudah tersedia. Sudah bisa diakses. Yang bisa memonitor si wajib karantina tadi meninggalkan rumah atau tidak.

Saya tidak perlu menyebut nama siapa yang menciptakan Apps itu —siapa tahu ada yang alergi terhadap nama itu. Tapi Alghozi pun sekarang masih di Surabaya. Siap berjibaku membantu secara gratis.

Tentu jangan juga terlalu menakutkan. Yang wajib karantina itu tetap boleh keluar rumah. Misalnya untuk olahraga. Asal jangan bertemu orang, jangan meludah sembarangan dan jangan menyentuh benda yang biasa dipegang orang lain, seperti kursi di pinggir jalan.

Tentu lebih baik lagi kalau yang wajib karantina itu dipasangi gelang pahlawan Covid-19. Mereka benar-benar pahlawan karena berani menyelamatkan diri dan orang lain dari tertular Covid-19.

Surabaya sudah menemukan peta jalan. Inilah salah satu cara membangun kepercayaan masyarakat. Angka penderita Covid-19 bisa naik drastis —untuk sementara— tapi masyarakat menjadi tahu kita akan ke mana. Surabaya sedang membangun kembali kepercayaan. Masih bisa. Kita adalah bangsa yang mudah percaya apa saja. (dahlan iskan)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: