Eksistensi Hukum di Tengah Matinya Kepakaran

Eksistensi Hukum di Tengah Matinya Kepakaran

Oleh: Bakhrul Amal

MATINYA kepakaran. Tom Nichols menggambarkan era sekarang, era di mana medsos menjadi ruang terbuka tanpa filter, dengan begitu dramatis.

Penilaian itu berdasar penelitiannya terhadap gejala-gejala sosial yang saat ini marak di dunia maya. Pertama gejala orang menisbatkan diri. Kedua gejala post truth. Ketiga, atau terakhir, gejala diamnya orang-orang berilmu.

Semua orang sekarang, kata Tom Nichols, bisa mengklaim bahwa dia ahli dalam satu bidang. Keahlian itu berdasarkan gelar yang dia tulis sendiri meskipun tidak valid. Atau juga keahlian karena adanya informasi sepihak dari komunitas atau salah satu public figure. Semisal klaim bahwa dia ustad, pendeta, profesor, atau seorang yang mumpuni dalam bidang tertentu lalu disepaki oleh tokoh masyarakat yang memiliki kepentingan.

Klaim tersebut lebih lanjut didukung pula dengan jumlah penggemar medsos, atau followers, yang banyak. Alhasil tidak sedikit yang membagikan dan menjadikan pendapatnya yang belum tentu benar itu sebagai rujukan.

Terlebih di era post truth yang sering menilai informasi itu dianggap penting sebab menyenangkan dan berlawan dengan salah satu pihak. Bukan karena isinya yang mengurai fakta ilmiah. Klaim dengan cara keliru itu kemudian diyakini terus menerus sehingga dianggap benar (argumentum ad nauseam).

Di sisi lain mereka yang punya kapasitas, masih merujuk pada pendapat Tom Nichols, cenderung diam. Entah karena takut dibunuh dengan pola kill the messenger atau diserang secara ad hominem. Tidak jarang juga sang ahli memiliki perasaan malu untuk berkomentar karena merasa belum mumpuni, atau dalam Islam dikenal dengan tawadlu.

Akibatnya budaya masyarakat menjadi kacau balau. Rasio komunikatif dan kognitif menjadi tidak berfungsi lagi. Yang muncul adalah rasio cocokologi yang sifatnya asumsi.

CONTOH KASUS

Kita bisa melihat fenomena munculnya ustad bernama Bangun Samudra yang dikenal sebagai lulusan S3 Vatikan dan mantan pastor. Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) pun, melalui Paulus Siswantoko, mengatakan untuk mendapat gelar doktor di bidang Teologi dari Vatikan tak bisa sembarangan. Harus ada tahapan ketat dan dipilih yang terbaik dari yang terbaik. Tetapi sayangnya masyarakat terlanjur percaya bahkan pada pendapatnya yang terlihat ngecamblung.

Adapula Rangga Sasana petinggi Sunda Empire. Pengikutnya cukup lumayan dan tidak sedikit pula yang terpengaruh oleh kepercaya diriannya menjelaskan sejarah negara dunia yang diatur oleh Heeren Zeventien dengan tatanan ABCD.

Kita juga ingat ada kisah seorang titisan nabi. Dia adalah Lia Aminuddin, pimpinan dari komunitas Eden, yang oleh pengikut setianya sering dipanggil Paduka Bunda Lia.

Terbaru muncul fenomena Hadi Pranoto. Dia dijuluki profesor yang ahli di bidang mikrobiologi dan juga dokter. Tokoh publik mengangkat sosoknya bahkan dengan mimik dalam setiap pembicaraannya seolah setuju dengan pendapat sang ahli abal-abal.

Dikti pun merespons dengan membuka data pengalaman mengajar serta pengukuhan gelar tertinggi di bidang akademik. Alhasil nihil, Hadi Pranoto bukan cuma diragukan keahliannya tetapi kapasitasnya sebagai ilmuwan pun diragukan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: