Eksistensi Hukum di Tengah Matinya Kepakaran

Eksistensi Hukum di Tengah Matinya Kepakaran

Itulah beberapa contoh perkara viral dari matinya kepakaran. Dan cukup banyak yang hingga saat ini, sebab media sosial yang bisa menampilkan siapa pun dalam posisi apa pun dan maraknya kesadaran sinis, masih terkecoh pada hal-hal seperti itu.

EKSISTENSI HUKUM

Negara, sebagai pelindung, tentunya memiliki perangkat untuk memberikan rasa aman dan nyaman kepada warganya. Perangkat itu disebut dengan hukum.

Secara substansi perilaku pembohongan publik, penistaan agama, dan kejahatan lain melalui media sosial itu telah diantisipasi negara. Antisipasi itu melalui aturan yang sifatnya lex specialis derogat legi generali atau bahwa hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum.

Pembohongan publik, misalnya, dapat dikenakan Pasal 28 ayat 1 Jo Pasal 45A Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE. Kurang lebihnya pasal iti berbunyi bahwa setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.

Kita adalah konsumen. Terlebih apabila kita telah men-subscribe channel youtube seseorang, yang dengan subscribe itu terjadi asas konsensuil bahwa kita bisa memperoleh informasi dari channel tersebut dengan kuota internet, dan pemiliki channel memperoleh fee dari Youtube. Jika kita selaku konsumen merasa dirugikan agaknya pasal ini dapat diterapkan dan kita memiliki legal standing untuk itu.

Selain pembohongan publik adapula pasal yang bisa dikenakan bagi mereka yang meresahkan agama tertentu dengan adanya unsur kebencian di dalamnya. Pasal 28 ayat 2 Jo Pasal 45A ayat 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE di mana setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Pidana untuk kedua pasal itu berupa penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.

Matinya kepakaran memang problem. Tetapi pilihan penyelesaian perkara itu dengan cara bagaimana juga termasuk problem. Sebagai masyarakat yang hidup di negara hukum maka bangunlah budaya hukum dengan percaya pada struktur hukum.

Sebab kebenaran atau ketersinggungan itu tidak lantas membuat semua pilihan tindakan kita menjadi dianggap benar. Tindakan main hukum sendiri seperti bullying, cemoohan, dan persekusi juga tidak benar secara hukum. (*)

*) Penulis adalah praktisi hukum

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: