Bahaya Sentralisasi Omnibus Law Cipta Kerja

Bahaya Sentralisasi Omnibus Law Cipta Kerja

JAKARTA – Pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja saat ini telah memasuki Bab III atau inti dari undang-undang tersebut. DPR RI menilai isi dari RUU Omnibuslaw Cipta Kerja akan memperburuk proses pengelolaan perizinan berusaha.

Anggota DPR RI Surahman Hidayat menilai, dalam draft Omnibus Law Cipta Kerja banyak menghilangkan kewenangan kementerian dan pemerintah daerah dalam mengelola perizinan berusaha. Kemudian dikelola Pemerintah Pusat dengan ketentuan lebih lanjut akan diatur melalui peraturan pemerintah. “Hal tersebut akan memperburuk proses pengelolaan perizinan berusaha,” ujar Surahman di Jakarta, Jumat (7/8).

Anggota Komisi II ini menyampaikan Draft RUU Omnibus Law Cipta Kerja ingin memusatkan pengelolaan izin berusaha pada satu pintu tanpa melalui kementerian dan Pemerintah Daerah.

“Draft RUU Omnibus Law Cipta Kerja ingin menghilangkan peran Pemerintah Daerah dalam pengurusan IMB. Kemudian, perizinan memproduksi, impor, maupun ekspor persenjataan tidak lagi melalui kementerian pertahanan. Namun diganti dengan frasa Pemerintah Pusat. Selain menghilangkan peran Pemerintah Daerah, banyak perizinan yang sebelumnya menjadi kewenangan kementerian digantikan dengan frasa Pemerintah Pusat,” jelasnya.

Menurutnya, kebijakan tersebut dapat membawa konsekuensi negatif. Pertama, memusatkan perizinan pada satu kementerian atau lembaga akan memperlambat perizinan. Kkarena akan terjadi overload perizinan.

“Kedua, pemeriksaan akan tidak bisa dilakukan secara detail dan rinci. Sehingga akan menyebabkan terjadinya malpraktik perizinan. Sebab, menumpuknya perizinan yang harus diselesaikan secara cepat, besar kemungkinan adanya badan usaha yang tidak layak atau memenuhi syarat akan diberikan izin. Karena syarat yang diajukan akan lebih fokus pada persyaratan administrasi,” paparnya.

Ketiga, lanjutnya, akan menimbulkan ketidakpastian investasi. Karena peraturan rinci perizinan berusaha diatur melalui peraturan pemerintah. Satu sisi hal ini akan membuat fleksibel. Namun akan membuat kekhawatiran investor. “Selain itu, jika pemerintahan berganti, maka akan memungkinkan peraturan berganti pula,” ucapnya.

Situasi ini tentunya tidak menguntungkan investor yang membutuhkan kepastian investasi dalam jangka waktu panjang. Keempat, akan terjadi sentralistik kekuasaan Pemerintah Pusat.

“Kebijakan sebagaimana tercantum dalam Draft RUU Omnibus Law Cipta Kerja akan membawa bangsa ini ke masa lalu. Dimana kekuasaan tersentral pada Pemerintah Pusat. Hal ini jelas bertentangan dengan semangat otonomi daerah. Bangsa ini tidak menganut sentralisasi kekuasaan Pemerintah Pusat. Namun menjalankan desentralisasi kekuasaan atau otonomi daerah,” bebernya.

Dia berpendapat Pemerintah Pusat terlihat kebingungan dalam memperbaiki permasalahan perizinan berusaha di Indonesia. Hal ini tergambar dari ketidakjelasan desain perizinan yang ingin dibangun dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja.

“Aturan yang dibuat dalam Draft RUU Omnibus Law Cipta Kerja memperlihatkan Pemerintah Pusat seperti atasan yang tidak mempercayai bawahan. Sehingga semuanya ingin dilakukan sendiri,” tukasnya.

Dikatakan, jika presiden melihat ada kementerian yang menghambat dunia usaha, kepala negara punya power untuk mengganti menterinya. Apabila, presiden melihat ada kepala daerah yang menghambat investasi, presiden juga mempunyai instrumen melalui kementerian dalam negeri dan kementerian lainnya untuk menegurnya.

“Presiden punya instrumen dalam menjalankan pemerintahan dalam era demokrasi dan sistem otonomi daerah. Tidak diperlukan memusatkan perizinan berusaha pada Pemerintah Pusat. Karena ini akan berpotensi terjadinya abuse a power,” terangnya.

Sementara itu, Ketua DPD RI La Nyalla Mahmud Mattalitti meminta tim kerja DPD RI yang terlibat dalam pembahasan RUU Cipta Kerja, fokus pada kepentingan daerah. Hal ini sesuai dengan fungsi dan kewenangan DPD mengawal aspirasi masyarakat di daerah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: