Jakob Oetama

Jakob Oetama

Dalam suatu kongres SPS di Jakarta pak Jakob “menggalang” utusan: jangan lagi memilih beliau. Harga mati. Lantas beliau “menggalang” suara agar memilih saya.

Saya melihat gelagat itu. Menjelang acara pemilihan ketua umum, saya diam-diam ke bandara. Pulang ke Surabaya. Agar tidak bisa dipilih —ketentuannya jelas: calon ketua umum harus ada di arena pemilihan.

Saya pun lega: bisa pulang dari kongres tanpa beban apa-apa.

Ups… Begitu mendarat di Juanda saya ditelepon Pak Jakob.

\"Mas Dahlan terpilih sebagai ketua umum,\" kata beliau.

\"Lho saya kan tidak ada di tempat? Kan anggaran dasar mensyaratkan itu?\" jawab saya.

\"Menjelang pemilihan tadi, anggaran dasarnya sudah diubah. Dan saya yang menjamin bahwa Mas Dahlan pasti mau kalau saya yang minta,\" kata beliau.

Tentu saya tidak berani untuk tidak tawaduk kepada Pak Jakob. Saya pun menerima jabatan itu —dengan doa jangan sampai saya meninggal dunia di jabatan itu.

Ternyata saya hampir meninggal dunia. Terkena kanker hati. Sampai harus ganti hati.
Dan ternyata saya meninggal dunia beneran —secara politik. Saya dikenai perkara bertubi-tubi. Saya pun minta berhenti sebagai ketua umum: tidak pantas ketua umum SPS berstatus tersangka. Saya ajukan surat pengunduran diri itu: ditolak! Mereka tahu bahwa saya tidak seharusnya bernasib seperti itu.

Begitu diangkat menjabat sesuatu dulu saya juga sowan ke Pak Jakob. Minta restu beliau. Kepada beliau saya juga berjanji untuk selama menjabat akan menjaga nama baik institusi pers dan kewartawanan. Beliau tahu maksud saya: jangan sampai korupsi.

Ketika akhirnya saya jadi tersangka, saya menghadap beliau lagi. Di kantornya yang megah di gedung Kompas Gramedia. Saya menceritakan apa yang sedang saya hadapi.
Tapi beliau sudah sulit mengikuti pembicaraan. Bahkan beliau awalnya tidak ingat siapa tamunya itu. Sampai-sampai saya harus mendekat ke beliau dan dengan agak lantang mengatakan siapa nama saya. Lalu beliau menganggukkan kepala.

Itu sudah enam tahun lalu. Setelah itu saya menghadap beliau lagi. Yakni setelah saya dibebaskan oleh Pengadilan Tinggi Jatim. Tapi beliau sudah semakin lemah dan semakin tidak ingat siapa saya.

Kini Kompas memiliki gedung pencakar langit yang sangat tinggi dan sangat megah. Juga sangat baru. Saya tidak bisa lagi mengatakan gedung saya lebih bagus dari gedung Kompas —karena kini saya tidak punya gedung sama sekali.

Saya belum sempat berkunjung ke gedung baru Kompas itu. Saya berharap pak Jakob sempat merasakan kemegahannya.

Ketika akhirnya saya juga tidak mau lagi menjabat ketua umum SPS —sudah tiga periode— saya menghadap putra beliau.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: