Dorong Kiai Abbas Buntet Jadi Pahlawan Nasional
Prof. Dr. KH Asep Saifudin Chalim dan timnya ini, menunjukkan banyak bukti bahwa Kiai Abbas memberikan kontribusi yang besar dalam perang tersebut. -Cecep Nacepi-radarcirebon
CIREBON, RADARCIREBON.COM - Melalui beda buku "Dari Pesantren ke Medan Perang", Kiai Abbas Abdul Jamil berasal dari Buntet, diusulkan untuk menjadi Pahlawan Nasional. Ya, sosok santri asal Buntet banyak memberikan jasa besar dalam pertempuran Surabaya, 10 November 1945, silam.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Prof. Dr. KH Asep Saifudin Chalim dan timnya ini, menunjukkan banyak bukti bahwa Kiai Abbas memberikan kontribusi yang besar dalam perang tersebut.
Katanya, Kiai Abbas adalah santrinya Kiai Hasyim Asy,ari seorang ulama dan juga Pahlawan Nasional. Tentunya, pada waktu itu Kiai Abbas adalah sosok yang paling sering komunikasi dengan Kiai Hasyim Asy'aru, Jenderal Soedirman, dan Bung Tomo (Sutomo).
Dari keempat sosok pahlawan itu, agar Indonesia mempertahankan kemerdekaan melalui perang fisik dengan Belanda. "Waktu itu, kalau berjuang melalui diplomasi, Indonesia pasti kalah. Karena Indonesia jujur, sementara Belanda licik. Sehingga, mereka berunding untuk perang fisik dengan Belanda," ujar Prof. Dr. KH Asep Saifudin Chalim.
BACA JUGA:Kiai Abbas Buntet Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional dari Cirebon, Begini Sepak Terjangnya
Yang menjadi pertimbangan perang fisik itu, adalah Jumlah warga negara Indonesia yang cukup banyak, sekitar 60 juta sampai 70 juta warga Indonesia. Sementara Belanda yang hanya tinggal 5 juta orang. Dari perundingan itu hingga akhirnya, diputuskan perang di tanggal 10 November di Surabaya.
"Yang menentukan peperangan pada tanggal 10 November (sekarang hari pahlawan) ya Kiai Abbas. Waktu itu beliau berdampingan dengan Kiai Hasyim Asy'ari. Para pahlawan lainnya pun, tidak akan memulai perang sebelum Kiai Abbas datang. Bahkan, Kiai Abbas adalah Panglima perang yang berani masuk ke daerah tengah lawan, dan berhasil mengalahkan Jendral lawan," terangnya.
Namun kisah itu telat untuk di dengar oleh warga indonesia. Lantaran, saksi waktu itu tidak boleh menyebut nama Kiai Abbas yang berhasil mengalahkan dan menculik Jenderal lawan. Lantaran, ancaman yang diberikan oleh Belanda luar biasa kejam. Bahkan banyak juga kisah kepahlawanan Kiai Abbas lainnya.
Penelitian atas bukti kepahlawanan Kiai Abbas, bahkan sampai memakan waktu 1 tahun untuk mengumpulkan fakta dan data, kemudian 6 untuk menyusun narasinya. Bahkan, hingga mengeluarkan anggaran yang cukup besar untuk itu.
BACA JUGA:Kapolri Bakal Hadiri Doa Bersama di Pesantren Buntet
"Kiai Abbas pernah diajukan menjadi pahlawan nasional di tahun 2024. Namun keputusan ditunda, dipertimbangkan. Dan tahun itu belum ada pahlawan yang ditetapkan. Tahun 2025 diusulkan lagi hasilnya, Sangat Memenuhi Syarat (SMS)," ungkapnya.
Katanya, tahapan selanjutnya adalah Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Tingkat Pusat (TP2GP) yang akan mengadakan pertemuan dengan Dewan Gelar, untuk membahas penetapan Kiai Abbas sebagai tokoh Pahlawan Nasional.
"Nanti ada pertemuan itu. Hasilnya kemungkinan akan keluar bulan Oktober atau November," terangnya.
Dengan ditetapkan Kiai Abbas sebagai tokoh Pahlawan Nasional. Hal itu, menjadi motivasi untuk warga Kota Cirebon, bahwa Cirebon ini adalah Kota Pahlawan dan generasi saat ini diharapkan mempunyai sifat pahlawan.
BACA JUGA:Putra Sesepuh Pesantren Buntet Terpilih Pimpin PB PMII
Sementara itu, salah satu Narasumber pada Bedah buku ini, Prof Usep Abdul Matin, Ph mengapresiasi kegiatan Bedah Buku ini. Menurutnya Bedah Buku ini menjadi salah satu penguat untuk penobatan Kiai Abbas Buntet sebagai pahlawan nasional.
"Bedah buku ini penegasan dari apresiasi dan keinginan kuat dari masyarakat umum khususnya masyarakat akademik di kampus ini untuk memperkuat pengusulan Kiai Abbas Abdul Jamil sebagai calon Pahlawan Nasional yang sudah memenuhi syarat,"katanya.
Terkait Kiprah Kiai Abbas yang menolak diplomasi, Usep menjelaskan, pada saat itu pemerintah Indonesia era Soekarno lebih memilih jalur diplomasi dikarenakan keterbatasan kekuatan.
"Jalur diplomasi ini karena melihat kekuatan militer musuh lebih banyak daripada kekuatan militer bangsa sendiri, tapi setelah Bung Karno melihat kenyataan di lapangan di Surabaya dan begitu muncul solidaritas sosial dari umat islam yang berjumlah 60 juta siap berani mati perang fisik terbuka maka Bung Karno merubah, solidaritas sosial ini untuk mencapai misi masa depan,"katanya. (cep)
BACA JUGA:Pondok Pesantren Gedongan Mengadakan Bedah Buku Radikalisme di Media Sosial: Say No to Radicalism!
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:


