Gejala Ledakan Massa di Penghujung Agustus
Rd Agung Fajar Apriliyano,--
PERTAMA yang perlu kita tanggapi adalah persoalan ekonomi dan jurang ketimpangan yang mana menjadi akar utama dari kondisi hari ini.
Apapun yang melatarbelakangi perekonomian nasional baik situasi perang di beberapa negara konflik, kebijakan dagang AS, retaliasi beberapa negara dalam hal merespon Trump, hutang negara yg menumpuk dari rezim sebelumnya atau situasi lainya baik global maupun nasional, bukan berarti negara membebankan persoalan-persoalan tersebut kepada rakyatnya.
Kebohongan terbesar negara adalah selalu mengatakan pertumbuhan ekonomi baik-baik saja dan stabilitasnya dikatakan cukup lancar dalam hal supply, demand, pasokan, stock dan sebagainya.
Hal itu menjadi lelucon pertama kala negara dengan sadar melakukan ketidakjujuran atas situasi ekonomi nasional hanya demi preseden dan citra yg baik selama masa kekuasaanya.
Lelucon kedua negara menggunakan Aparat Penegak Hukum untuk mengkriminalisasi seseorang yang justru ahli di bidang ekonomi, pelaku makro dan sosok yg menyelamatkan komoditas gula dalam situasi perang dagang pada saat itu sebelum dikeluarkanya abolisi.
Lelucon ketiga untuk menghadapi persoalan ekonomi diatas, negara melakukan kebijakan-kebijakan yg mana rakyat seolah harus menanggung dari kebijakaan-kebijakaan yg penguasa buat. Rakyat seolah menjadi sapi perah bagi penguasa untuk menjaga stabilitas ekonomi.
Beberapa komedinya ialah pembekuan yang dilakukan PPATK kepada masyarakat, lembaga-lembaga ajudikasi mendadak memberikan denda diluar rasional terhadap korporasi-korporasi yg melakukan pelanggaran, polemik denda-denda royalti hak cipta dan kenaikan Pajak Bumi Bangunan (PBB) di berbagai daerah.
BACA JUGA:Pemutihan Pajak Bumi dan Bangunan atau PBB di Majalengka, Pemerintah Siapkan Skema
Dimana hal tersebut sebenarnya intruksi dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri) kepada pemerintah daerah (kelinci percobaan) dan yang terbaru isu kenaikan tarif BPJS Kesehatan.
Disini bisa kita cermati dari latar belakang masalah dan kebijakan-kebijakan yang diambil, saya tidak melihat kapabilitas pemerintah (eksekutif-legislatif) dalam membuat kebijakan atau jauh dari aspek meritokrasi.
Namun, harap maklum pembuat kebijakan dan menteri-menteri sekarang diisi oleh orang-orang populis yang sudah sepi job atau bosan lalu bergabung ke partai politik (Parpo)l dan diisi oleh preman-preman yg terlegitimasi negara.
Imbas dari maraknya orang-orang yang mengandalkan populisme dan praktik-praktik premanisme yg terlegitimasi negara dan tergabung dalam pemangku kebijakan adalah kondisi hari ini yakni ketimpangan sosial-ekonomi, pemerasan, lapangan pekerjaan terbatas, kekerasan yang mana hal tersebut muncul akibat dari ketidaksingkronan kebijakan yang dibuat dengan persoalan yang timbul, yang ada justru memperburuk keadaan.
Bagaimana tidak, dalam situasi ekonomi yang sulit justru legislatif bukan mengadvokasi rakyatnya, melainkan menaikan tunjangan ini itu bagi kelompoknya yg tergolong sudah sangat layak dari situasi ekonomi hari ini?
Lalu efesiensi-efesiensi yang dibuat selama ini hanyalah omong kosong sebab pada faktanya hanya berpindah pengalokasian saja.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:


