RUU Pemilu Masih Optimis

Sabtu 06-02-2021,07:00 WIB
Reporter : Leni Indarti Hasyim
Editor : Leni Indarti Hasyim

JAKARTA – Sejumlah fraksi optimis jika Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu yang saat ini tengah diharmonisasi di Badan Legislatif akan dilanjutkan. Krisis elektoral serta 271 kepala daerah yang akan ditempati Pejabat sementara (Pjs) menjadi pertimbangannya.

Termasuk membahas besaran angka ambang batas, baik parlemen maupun presiden yang akan dilaksanakan pada 2024 mendatang. Anggota Komisi I DPR RI Willy Aditya mengaku optimistis fraksi-fraksi di DPR mengambil kebijakan akan membahas.

Ada 271 daerah yang mengalami kekosongan kekuasaan. Lalu, kepala daerah dijabat pejabat sementara (Pjs) harus bertanggung jawab kepada siapa. Menurutnya, otoritas itu mandatori rakyat dan diserahkan kepada rakyat.

“Kalau Pjs bertanggung jawab kepada siapa. Kami tidak ingin ada politisasi birokrasi yang besar kalau 271 daerah dijabat selama 1-2 tahun oleh Pjs,” tegasnya, Kamis (4/2).

Menurutnya, fungsi parpol adalah menjembatani aspirasi publik dan kebijakan pemerintah. Politisi NasDem ini mengaku, pihaknya sebagai parpol akan menyuarakan terus. Soal hasil bisa didialogkan bersama.

Dia menegaskan bahwa F-NasDem sudah memutuskan untuk mendukung Revisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, dan fraksinya berjuang untuk normalisasi pelaksanaan pilkada agar tidak terjadi krisis elektoral yaitu dilaksanakan pada 2022 dan 2023.

Menurut dia, dalam sebuah negara demokrasi harus ada sirkulasi kekuasaan yang rutin, regular, dan berkesinambungan, maka tentu harus pertahankan kualitas serta konsolidasi demokrasi.

2

Ia melanjutkan, untuk ambang batas pencalonan presiden, bisa belajar dari pengalaman yang lalu. Harapannya, makin banyak putra-putri bangsa Indonesia yang tampil di tingkat nasional.

“Kalau besarannya tinggi maka jumlahnya (capres/cawapres) terbatas. Karena itu, kami dorong untuk dialog, ada proses penurunan untuk ambang batas pencalonan presiden,” katanya lagi.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II DPR RI Luqman Hakim menilai merevisi Undang-Undang Pemilu merupakan bagian dari upaya memperbaiki sistem pemilu yang berjalan di Indonesia.

Dia menilai ada dua poin krusial yang seharusnya dilihat semua pihak secara jernih dan komprehensif, yaitu makin maraknya politik uang dalam pelaksanaan pemilu dan adanya masalah manajemen penghitungan suara.

“Saya yakin DPR, Pemerintah, dan masyarakat ingin memperbaiki sistem pemilu. Evaluasi perjalanan Pemilu 2019 ada fenomena memprihatinkan, misalnya gejala politik uang yang makin masif dan indeksnya semakin mahal,” kata Luqman.

Menurutnya, indeks politik uang di Pemilu 2019, dibandingkan Pemilu 2009 dan 2014, ada kecenderungan meningkat dan volumenya semakin besar.

Kondisi itu, menurut dia, tentu tidak membahagiakan bagi semua pihak, rakyat tidak ingin suaranya dibajak oleh uang, dan Pemerintah tentu tidak ingin pemilu yang dilakukan marak praktik koruptif.

“Republik ini juga tidak bahagia, karena selama sistem pemilu tidak diperbaiki maka akan menghasilkan kekuasaan yang koruptif,” ujarnya pula.

Tags :
Kategori :

Terkait