KUNINGAN - Kepala Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan (BKBPP) Kuningan Drs H KMS Zulkifli MSi angkat bicara terkait pernyataan Sekretaris LSM Pekat Nana Mulyana Latif yang akan menggugat Perda PUG (Pengarusutamaan Gender). Menurutnya, pembuatan perda tersebut tidak asal, namun didasari berbagai dasar hukum yang ada di Indonesia. Zulkifli menyebutkan, Perda Pengarusutamaan Gender memang didasari oleh konsep gender tapi bukan emasipasi. Dalam substansi yang terdapat di dalam Perda PUG bukan mengatur tentang perempuan saja. Namun juga mengatur apa yang menjadi kewajiban dan hak setiap warga negara baik laki-laki dan perempuan yang berkaitan dengan pembangunan. Karena menurutnya, proses pembangunan negara Republik Indonesia hingga ke pelosok daerah bukan hanya kewajiban laki-laki, namun juga perempuan. Begitu pula dengan hasil dan dampak pembangunan yang dirasakan, bukan hanya oleh laki-laki tapi juga perempuan. “Inilah yang menjadi pembeda konsep gender dengan emansipasi. Emansipasi menginginkan persamaan kodrat laki dan perempuan, terkadang diperoleh dengan sikap radikal bebas. Sedangkan konsep gender, justru mengembalikan hak dan kewajiban manusia pada tataran fitrahnya masing-masing,” tandas Zulkifli kepada Radar, kemarin (18/8). Mantan kabid di BKD ini mengatakan, yang menganggap bahwa Perda PUG hanya akan memuluskan perempuan dalam gerak langkahnya, justru menimbulkan persepsi baru, bahwa mereka tidak menghormati kaum perempuan. Kaumnya ibu kandung mereka sendiri, egoisme/rasa superioritas laki-laki justru semakin diperkuat pada pernyataan tersebut. “Artinya bahwa dia sendiri tidak memahami peran untuk apa laki-laki dan perempuan diciptakan. Hanya karena persoalan kepentingan politik, sisi kemanusiaan dikesampingkan. Menyedihkan!” tandas Zulkifli. “Proses pembangunan yang selama ini kita lakukan, menyamaratakan apa saja yang harus dilakukan dan apa saja yang diterima warga Negara, baik laki-laki pun perempuan. Padahal kita semua tahu bahwa penciptaan laki-laki dan perempuan itu berbeda, sehingga menghasilkan tingkat kebutuhan yang berbeda pula,” ujarnya lagi. Dalam pembangunan, lanjutnya, perempuan membutuhkan ruang Pojok ASI, wilayah bebas merokok, tempat pelaksanaan ibadah menurut kaidah agamanya masing-masing, toilet yang dibedakan dengan laki-laki, perlindungan perempuan di tempat-tempat umum serta hal-hal lainnya. Sedangkan laki-laki membutuhkan ruang merokok, toilet dengan bentuk yang berbeda dengan perempuan, posisi kerja, jenis pekerjaan dan lain-lain kondisi. Hal-hal tersebut di dalam pembangunan disebut dengan “Pembangunan Responsif Gender”. Lebih rinci dikatakan Zulkifli, Bidang Pemberdayaan Perempuan mengajukan draf Raperda Pengarusutamaan Gender sudah sejak 2 tahun yang lalu. Bahkan sudah disusun Tim Program Nasional SCBD yang dilaksanakn di Kabaupten Kuningan dan pihaknya hanya tinggal menindaklanjuti draf tersebut. Namun prosesnya membutuhkan waktu dan menunggu antrean raperda lain. Maka menurutnya, pada kesempatan semester inilah Raperda PUG baru bisa diajukan ke DPRD, tanpa memandang bahwa di daerah sedang berlangsung prosesi pilkada atau apapun. “Karena memang tidak ada politisasi dalam raperda ini,” ucapnya. Bidang Pemberdayaan Perempuan, kata Zulkifli, murni melaksanakan tupoksinya untuk mendapatkan dasar hukum pertama bagi berlangsungnya pembangunan pemberdayaan perempuan. “Apabila terdapat kesamaan kata “utama” di dalamnya, kita semua bisa melihat lagi ke belakang, siapa yang pertama kali menggunakan kata tersebut. Apakah Inpres Presiden Tahun 2000 atau pasangan calon kepala daerah yang sekarang?” tanyanya. “Kami rasa ini hanyalah kebetulan saja. Jika ada orang berasumsi bahwa Perda PUG dipolitisasi, dia sendiri berfikir secara politis. Artinya bahwa ada atau tidak raperda ini, semua hal yang dilakukan Bidang Pemberdayaan Perempuan, bahkan yang berdasarkan tupoksi dari kementerian pun, akan tetap dinilai politis. Ini menimbulkan ketidakadilan bagi pelaksanaan tugas kami. Inilah yang disebut dengan ketidakadilan gender,” bebernya. Pihaknya meemohon kepada seluruh masyarakat yang ada di Kabupaten Kuningan agar dapat lebih mencermati isi dari Perda PUG tersebut. Karena perda tersebut menjadi pedoman, bukan hanya bagi Bidang Pemberdayaan Perempuan, namun juga seluruh lembaga-lembaga sektor pembangunan dalam merencanakan hingga mengevaluasi pembangunan yang berkebutuhan laki-laki dan perempuan secara proporsional. Terlepas dari siapapun Kepala daerah yang terpilih, menurutnya, BKBPP akan tetap bekerja secara profesional sesuai amanah yang diberikan. Agar terwujud Kabupaten Kuningan yang adil dan makmur. (mus)
Tak Ada Politisasi dalam Perda PUG
Senin 19-08-2013,10:30 WIB
Editor : Dian Arief Setiawan
Kategori :