JAKARTA - Pemerintah, Bank Indonesia (BI), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan para pelaku usaha harus memperkokoh kuda-kuda. Turbulensi nilai tukar Rupiah dan pasar modal saat ini, diperkirakan baru menjadi awal dari tekanan eksternal yang akan mendera Indonesia dalam beberapa waktu mendatang. Ekonom LPS Doddy Ariefianto mengatakan, kebijakan bank sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed memang menjadi penyebab utama gejolak nilai tukar dan pasar modal di berbagai belahan dunia. “Karena itu, ini baru fase dini. Ke depan, pressure (tekanan) eksternal akan makin kuat,” ujarnya kepada Jawa Pos (Radar Cirebon Group) kemarin (20/8). Saat ini, ekonomi dunia memang tengah waswas menanti kebijakan quantitative easing (QE) bank sentral AS atau The Fed. Sebagaimana diketahui, untuk membantu perekonomian AS yang terseok karena krisis, The Fed secara rutin membeli surat utang pemerintah surat utang beragus aset senilai USD85 miliar (sekitar Rp850 triliun) setiap bulan. Dana dari The Fed inilah yang digunakan pemerintah AS untuk menopang ekonomi negara dengan ekonomi terbesar di dunia itu. Namun, ketika perekonomian AS sudah menunjukkan tanda-tanda perbaikan (recovery), Chairman The Fed Ben Bernanke pada Juni lalu menyatakan rencananya untuk mengurangi suntikan likuiditas (tapering off). Berita itu langsung mengguncang pasar keuangan dunia, termasuk Indonesia. Sebab, sebagian dana QE dari The Fed itu juga mengalir ke pasar keuangan di berbagai negara, termasuk pasar modal di Indonesia. Banyak ekonom dan pelaku bisnis di AS memproyeksi The Fed akan memulai kebijakan tapering off pada September mendatang. Ini terkait dengan rilis data ekonomi AS yang cukup positif. Misalnya, pertumbuhan ekonomi triwulan II yang sudah mencapai 1,7 persen, serta turunnya angka pengangguran. “Jadi, sampai September nanti, kita harus terus siaga,” kata Doddy. Menurut Doktor Ekonomi lulusan Universitas Indonesia (UI) tersebut, saat ini memang tengah terjadi asset rotation atau perputaran arus modal. Pada periode 2009 hingga awal 2013, aset mengalir dari negara maju ke negara yang tengah tumbuh (emerging markets) termasuk Indonesia. “Tapi, saat ini ada sinyal asset rotation berbalik, dari emerging markets kembali ke negara maju,” jelasnya. Pemerintah dan BI pun saat ini masih berupaya keras untuk mencari jurus jitu mengatasi gejolak sektor keuangan. Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) yang terdiri dari Kementerian Keuangan, BI, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), serta LPS, terus intensif berkoordinasi. Senin lalu (19/8), FKSSK rapat hingga tengah malam untuk membahas perkembangan sektor keuangan. Kemarin (20/8), pemerintah kembali melakukan rapat maraton yang dipimpin Wakil Presiden Boediono. Kemarin, Rupiah memang kembali melemah. Data BI berdasar Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), Rupiah melorot dari posisi 10.451 per USD ke 10.504 per USD. Ini merupakan level terendah sejak 6 Mei 2009. Ketika Rupiah ditutup di level 10.505 per USD. Namun, di pasar spot, Rupiah sudah jatuh lebih dalam. Data kompilasi Bloomberg menyebut, Rupiah diperdagangkan di posisi 10.723 per USD, melemah 1,8 persen dibanding penutupan hari sebelumnya. Ini merupakan pelemahan paling parah dibandingkan mata uang lain di seluruh dunia. Rupee India (INR) yang pada Senin lalu (19/8) melemah paling parah, kemarin hanya melemah tipis 0,16 persen. Menteri Keuangan Chatib Basri pun terus berupaya mendinginkan pasar. Ekonom yang pernah menjadi staf khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani ini lagi-lagi mengatakan bahwa kondisi Rupiah dan pasar modal saat ini masih aman. “Semuanya aman, pemerintah akan berusaha keras untuk mengatasi ini. Itu dulu statement saya,” ujarnya. Lantas, apakah kondisi saat ini akan menggiring Indonesia seperti saat krisis 2008? Chatib menyatakan bahwa kondisi makro Indonesia saat ini masih lebih kuat dibanding ketika 2008. “Ekonomi kita masih cukup kuat, perbankan kita juga solid,” jelasnya. Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Bambang Brodjonegoro menambahkan, dirinya tidak sepakat jika ada yang menyebut pemerintah lamban menyikapi gejolak pasar keuangan. “Pemerintah akan terus berkomunikasi dengan pelaku pasar surat utang, saham, maupun currency (nilai tukar, red). Artinya, kita tidak diam saja,” katanya. Meski demikian, lanjut dia, pemerintah dan BI memang tidak bisa serta-merta mengintervensi pasar untuk memperkuat nilai tukar Rupiah. Sebab, size atau ukuran pasar keuangan di Indonesia sudah sangat besar, sedangkan resource atau sumber daya yang dimiliki pemerintah dan BI terbatas. “Jadi, yang bisa kita lakukan adalah menstabilkan pasar,” ucapnya. Sementara itu, Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo mengakui, tekanan di pasar keuangan, termasuk nilai tukar Rupiah, masih terus berlanjut. Dia pun meyakinkan bahwa BI akan terus berada di pasar untuk melakukan stabilisasi agar pelemahan Rupiah tidak terlalu tajam. “pemerintah, dan OJK akan terus melakukan stabilisasi,” ujarnya. Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sekaligus Kepala Eksekutif Bidang Pasar Modal Nurhaida menambahkan, pihaknya terus melakukan pengawasan terhadap gejolak bursa saham, dengan berkoordinasi dengan Bursa Efek Indonesia (BEI) sebagai Otoritas Pasar Modal. \"Kami sudah memiliki SOP dan manajemen protokol, jika terjadi penurunan indeks sampai batas tertentu. Hal itu yang akan dilakukan,\" ungkapnya. Upaya mitigasi itu diawali dengan upaya pemantauan volatilitas pasar dengan menjalankan protokol manajemen krisis (crisis management protocol/CMP), oleh BEI. Saat indeks harga saham gabungan (IHSG) tertekan hingga lima persen, maka BEI terus memonitor pergerakan saham jika terdapat sinyal tanda bahaya lewat pop up. Jika IHSG akhirnya turun hingga tujuh persen, maka BEI berkoordinasi dengan OJK untuk pengambilan keputusan. \"Namun jika IHSG turun hingga 10 persen lebih, kebijakan tidak lagi berada di Direksi BEI, melainkan langsung ditangani oleh OJK,\" ungkap Direktur Pengawasan Transaksi dan Kepatuhan Bursa Efek Indonesia (BEI) Uriep Budhi Prasetyo. Sementara itu, Presiden SBY juga turut mengikuti perkembangan terkini atas IHSG dan nilai tukar rupiah belakangan ini. Menurut Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi Firmanzah, presiden juga telah mengintruksikan kepada menteri keuangan agar terus berkoordinasi dengan BI, LPS (lembaga penjamin simpanan), dan OJK (otoritas jasa keuangan). \"Koordinasi itu penting untuk membahas policy respons dan mitigasi dampak gejolak eksternal,\" kata Firmanzah di komplek istana presiden Jakarta kemarin (20/8). Dia menambahkan, sejumlah langkah mitigasi juga perlu disiapkan juga untuk mengantisipasi dampak atas rencana pengurangan stimulus fiskal (quantitative easing) di Amerika Serikat. Dia juga mengungkapkan, kalau presiden tetap bersyukur karena dampak yang dirasakan Indonesia tidak seperti di beberapa negara lain. Pada semester I Tahun 2013, misalnya, data realisasi investasi di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) tetap menunjukkan peningkatan. Nilainya mencapai Rp192,8 triliun atau naik 30,2 persen dibanding tahun lalu. \"Investasi di sektor riil ini diharapkan akan terus meningkatkan serapan tenaga kerja dan produksi nasional,\" imbuh Firmanzah. (owi/gal/dyn)
LPS: Ini Masih Fase Dini, Rupiah Melemah Paling Parah
Rabu 21-08-2013,09:53 WIB
Editor : Dedi Darmawan
Kategori :