IA tergolong barisan from zero to hero zaman baru: Siboen. Si juara YouTuber di kelasnya. Si orang desa. Si anak buruh tani. Si penderita buyuten –yang kalau lagi memegang sesuatu tangannya gemetar.
Penghasilannya, sekarang, Rp 50 juta/bulan. Bisa di atas itu. Pernah sampai ratusan juta rupiah per bulan –ketika iklan masih mahal sebelum Covid.
Yang jelas ia –Siswanto alias Siboen itu– tidak miskin lagi. Tinggalnya masih tetap di pelosok desa di Banyumas, tapi di rumahnya sudah ada Indihome. Internetnya berkecepatan tinggi. HP-nya 6 buah. Mobilnya baru: Toyota Rush.
Semua itu Siswanto beli dari hasil menjadi YouTuber. Ia menjadi OKB di desa itu –orang kaya baru. Perubahan drastis ekonominya membuat orang di desa curiga: Siswanto punya jin atau prewangan. Si tuyul, prewangan itu, bekerja secara maya mengambil harta orang lain untuk diberikan ke tuannya. Sampai pun ada warga yang melarang anaknya ke rumah Siboen –takut dijadikan tumbal: makanan si tuyul.
Tuyul zaman sekarang itu tak lain ya YouTube itu. Pekerjaannya sering dibilang tidak jelas tapi hasilnya nyata.
Untuk sampai ke sana Siswanto harus melalui perjalanan hidup yang lika liku laki laki luka luka.
Saking miskinnya. Saking sulitnya.
Tamat Ibtidaiah (SD), Siswanto tidak mampu masuk SMP. Untungnya ada tawaran pelatihan di Balai Pelatihan Kementerian Sosial di Magelang.
Siswanto berangkat. Bersama 33 anak-desa-putus-sekolah lainnya.
“Saya ingin ikut pelatihan elektronik,” ujar Siswanto saat saya ajak bicara kemarin. “Saya tidak diterima,” tambahnya.
Penyebabnya: Siswanto menderita tremor. Tangannya suka bergetar sendiri. Orang Jawa menyebutnya buyuten.
Siswanto dialihkan ke jurusan perbengkelan. Bengkel sepeda motor. Dari dua tahun masa pelatihan, yang enam bulan diharuskan magang di bengkel umum di Magelang.
Siswanto lulus terbaik di angkatannya. Ia juga lulus terbaik di antara rombongan 33 orang dari desanya. Tidak sulit Siswanto mengalahkan rombongan awalnya itu: dari 33 orang tersebut hanya 3 yang jadi ikut pelatihan. Yang 30 lainnya ditarik pulang oleh orang tua mereka. Penyebabnya satu: balai pelatihan itu ternyata bagian dari panti rehabilitasi anak nakal dan sakit jiwa.
Sebagai lulusan terbaik Siswanto mendapat hadiah konkret: peralatan lengkap untuk mendirikan bengkel sepeda motor di desanya.
Tapi Siswanto pesimistis bisa jalan. Ia pilih menerima tawaran merantau ke Jogja. Ia pilih bekerja di bengkel milik teman guru pelatihannya. Prestasi Siswanto membuat gurunya menghubungi si teman. Bahkan sang guru menampung Siswanto di rumahnya –sebelum Siswanto dapat penghasilan.