“Nampaknya dengan memperluas rumah dinas ini, ada indikasi bahwa Daendels ingin menjadikan Surabaya sebagai ibukota karena menurut dia seorang penguasa harus ditempatkan di istana,” jelas Purnawan.
Menurut Purnawan, Daendels gagal memindahkan ibukota ke Surabaya karena membutuhkan dana besar sedangkan Prancis dan Belanda lebih mengutamakan dananya untuk perang melawan Inggris.
Sementara itu, Vlekke mencatat bahwa Daendels batal memindahkan ibukota ke Surabaya karena berbagai kesulitan memindahkan seluruh permukiman Batavia dengan gudang-gudang dan kapal-kapal barang berharga. Dia pun memutuskan untuk memindahkan bagian perumahan kota itu ke daerah yang lebih tinggi, Weltevreden.
Sebelumnya, pada 1800 Gubernur Jenderal Van Overstraten telah memindahkan kantor-kantornya ke Weltevreden. “Maka ibukota pun berganti, dari kota pelabuhan menjadi kota garnisun. Tindakan ini dilakukan sepenuhnya semasa Daendels pada 1809,” tulis Leonard Blusse dalam Persekutuan Aneh: Pemukim Cina, Wanita Peranakan, dan Belanda di Batavia VOC.
Daendels kemudian memperluas kawasan Weltevreden (sekarang Lapangan Banteng, Jakarta) dan membangun gedung-gedung perkantoran. “Seperti yang sekarang ditempati Departemen Keuangan, itu gendung yang dibangun oleh Daendels,” kata Purnawan.
Ketika Daendels ditarik ke Prancis pada 30 Juni 1811, penggantinya, Jan Willem Janssens sudah hadir di Batavia sejak 16 Mei 1811. “Pembatalan pindahnya ibukota karena kondisi Prancis tidak stabil dan berpengaruh pada kondisi di Batavia. Sehingga, saya kira Janssens tidak tertarik dengan ide untuk memindahkan kekuasaan ke Surabaya,” pungkas Purnawan.(*)