Walikota-Wawali Bertanggung Jawab

Selasa 16-11-2010,07:21 WIB
Reporter : Dedi Darmawan
Editor : Dedi Darmawan

Tahun ini adalah kali kedua Kota Cirebon dinobatkan oleh lembaga survei Transparency International Indonesia (TII) sebagai kota terkorup. Namun, para birokrat tidak begitu saja mempercayai hasil survei tersebut, bahkan beberapa mempertanyakan legalitas, kapabilitas, dan kualitas TII dalam melakukan survei. Data dilawan dengan data! Radar Cirebon pun melakukan pengujian pada hasil survei TII dengan melakukan survei lanjutan kepada masyarakat Kota Cirebon. Ini hasil selengkapnya. BERANGKAT dari kontroversi mengenai sahih atau tidaknya hasil survei TII, Radar Cirebon melakukan survei terhadap 100 responden dengan rentang usia 17-60 tahun dengan komposisi sosial di dalamnya adalah pelajar, mahasiswa, pekerja swasta, pegawai negeri sipil, dan pekerja serabutan. Respondennya memang berbeda dengan TII, sebab dalam survei-nya, TII memfokuskan respondennya kepada kalangan pebisnis dan pelaku usaha. Survei yang dilakukan Radar Cirebon menggunakan dua pertanyaan dalam kuisioner yang disebar. Pertama, yakinkah Anda dengan hasil survei Transparency International Indonesia yang menempatkan Kota Cirebon sebagai salahsatu kota terkorup di Indonesia? Pilihan jawabannya adalah, a. Yakin, b. Tidak dan c. Ragu. Sedangkan pertanyaan kedua adalah, menurut Anda, siapa yang paling bertanggung jawab dengan status Kota Cirebon sebagai kota terkorup? Pilihan jawabannya adalah a. Walikota dan Wakil Walikota, b. Birokrasi, c. Anggota Dewan, d. Masyarakat dan e. Penegak Hukum. Hasilnya, dari 100 responden, 41 di antaranya menyatakan yakin terhadap survei yang dilakukan TII, 15 menyatakan tidak yakin, dan 26 sisanya menjawab ragu-ragu. Untuk pertanyaan siapa yang paling bertanggung jawab terhadap predikat kota terkorup, 33 responden menjawab walikota dan wakil walikota, 26 responden menjawab birokrasi, 11 responden menjawab anggota dewan, 3 responden menjawab masyarakat, dan sisanya 9 responden menyatakan penegak hukum yang paling bertanggung jawab. Dari total 100 responden, 18 di antaranya memilih abstain. Membedah hasil survei tersebut, Sosiolog Institut Agama Islam Negeri Syekh Nurjati, Prof Dr Abdullah Ali MA mengatakan, dari segi emik (persepsi masyarakat), korupsi sudah terjadi merata hampir di segala lini, baik itu eksekutif dan legislatif. Persepsi mayoritas masyarakat terhadap korupsi di pemerintahan, muncul lantaran pengalaman masing-masing pribadi. Misalnya, membayar biaya lebih dari yang sebenarnya untuk pengurusan perizinan, dana yang tidak sampai ke masyarakat, dan bantuan yang diterima tidak dengan sebagaimana mestinya. Untuk kalangan masyarakat bawah persepsi korupsi pada pemerintahan bisa timbul pada contoh kasus kucuran dana rumah tidak layak huni (rutilahu). Kebanyakan masyarakat menerima dana yang tidak sesuai dengan anggaran yang ditetapkan, sehingga timbullah persepsi telah terjadi korupsi. Persepsi korupsi pada masyarakat bawah juga timbul pada saat pencairan dana aspirasi. Misalnya saja dana yang turun juga tidak sesuai dengan anggaran awal yang ditetapkan. “Tapi ini sekadar contoh ya. Memang korupsi-korupsi macam ini tidak menyisakan bukti apakah itu kuitansi ataupun tanda tangan, jadi memang sulit melacaknya,” ujar dia. Ali menjelaskan, survei yang dilakukan TII adalah sebuah pembuktian terbalik terhadap peristiwa korupsi di pemerintahan. Survei ini sifatnya memang masih hipotesa atau asumsi awal yang perlu diuji lebih lanjut kebenarannya. Mengingat statusnya yang masih hipotesa, sudah semestinya hasil survei TII ditangkap dengan cepat oleh lembaga legislatif. Predikat kota terkorup, lanjut Ali, sudah semestinya ditindaklanjuti, baik oleh eksekutif ataupun legislatif. Sayangnya, sikap walikota sampai saat ini terkesan cuek dan mendiamkan. Tindak lanjut itu akan membuktikan kapabilitas baik eksekutif maupun legislatif, sebab hipotesa tersebut memerlukan pembuktian, terlepas nantinya apakah hipotesanya terbukti atau tidak. Terpisah, Dekan Fakultas Ekonomi Unswagati, Bachrudin Sahroni SE MM juga berkata senada. Bachrudin juga memandang bahwa indeks persepsi korupsi yang merupakan hasil survei dari TII baru sebatas hipotesa yang perlu dibuktikan dan diuji kebenarannya. “Indeks persepsi korupsi memang seperti pembuktian terbalik dan baru hipotesa. Analisis statistik masih bisa salah, tetapi survei yang dilakukan pasti menggunakan metodologi ilmiah, memiliki responden dengan kriteria tertentu dan pengambilan narasumbernya juga dengan metode tertentu, misalnya saja sampling. Tapi survei tersebut sudah termasuk karya ilmiah,” jelasnya. Sebetulnya, kata dia, penelitian ataupun survei yang hasilnya adalah indeks persepsi korupsi dari masyarakat bukan kali ini saja dilakukan dan bukan hanya dilakukan oleh TII. Mahasiswa didikannya di Fakultas Ekonomi Unswagati pun seringkali mengangkat tema-tema pelayanan publik yang hasilnya juga berupa persepsi publik terhadap layanan pemerintah. Tapi penelitian ilmiah itu sampai saat ini hanya diseminarkan secara internal di kampus dan hasil penelitiannya baru sebatas diberikan kepada pihak-pihak terkait, termasuk organisasi perangkat daerah (OPD) yang dijadikan tempat penelitian. “Dari penelitian yang dilakukan mahasiswa kebanyakan memang sektor-sektor publik yang seringkali menemukan keluhan masyarakat,” katanya. Kembali menjelaskan soal indeks persepsi korupsi, Bachrudin mengatakan, persepsi korupsi masyarakat bisa muncul dari akuntabilitas kinerja instansi pemerintah dan akuntabilitas laporan kinerja instansi pemerintah. Tetapi sampai saat ini yang bisa melakukan pembuktian terhadap hipotesa dari hasil survei TII adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang setiap tahunnya melakukan pemeriksaan. Ketika terjadi temuan, maka bisa menjadi salahsatu indikator dan pembenaran terhadap pembuktian terbalik dari hasil survei yang dilakukan TII. “Ini baru hipotesa, masih perlu dilakukan pengujian dan pembuktian lebih lanjut,” tandasnya. (yuda sanjaya)

Tags :
Kategori :

Terkait