Selesai belajar ilmu agama di banyak pesantren, Eyang Hasan Maolani kemudian menikah dengan seorang gadis bernama Murtasim binti Kiai Arifah yang berasal dari Desa Garawangi.
BACA JUGA:Proses Hukum Rizky Billar Masih Berlanjut, Lesti Kejora: Allah SWT Maha yang Membolak-balikkan Hati
Mustasim ini jika dirunut nasabnya, masih merupakan keturunan dari Lengkong, karena Kiai Arifah merupakan putra dari Kiai Khatib Syaribah yang merupakan menantu dari Kiai Bagus Arsyam/Nyai Buyut Jembar Lengkong. Dari hasil pernikahan dengan Murtasim, Eyang Hasan Maolani dikaruniai 11 orang anak.
Gerakan-gerakan tarekat yang dikembangkan oleh Eyang Hasan Maolani dituduh sebagai ajaran sesat oleh kolonial Belanda.
Dalil paling mudah dan paling sering digunakan—sebagaimana merupakan masukan dari penghulu atau penasihat agama pada era pemerintah Kolonial Belanda, ajaran tarekat Eyang Hasan Maolani merupakan ajaran yang bertentangan dengan Alquran.
Kemarahan Pemerintah Hindia Belanda bertambah seiring Eyang Hasan Maolani yang mendeklarasikan dirinya sebagai "Pembaharu Agama" di Karesidenan Cirebon dan sekitarnya.
BACA JUGA:Krishna Murti Promosi dari Brigjen ke Irjen Pol: Semua Karena Kuasa Allah SWT
BACA JUGA:Inilah Kronologi Penangkapan Mami Linda, Pembeli 5 Kg Sabu dari Irjen Pol Teddy Minahasa Putra
Deklarasi ini semakin mengukuhkan kedudukan sosial Eyang Hasan Maolani yang diketahui memiliki pergaulan yang luas hingga disegani oleh masyarakat sekitar dan memiliki banyak santri yang terkumpul di pesantren Lengkong.
Popularitas Eyang Hasan Maolani ini tercatat dalam laporan politik yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Eyang Hasan Maolani dilaporkan telah melakukan gerakan sosial yang dibuktikan dengan banyaknya orang yang berdatangan ke kediamannya di Desa Lengkong.
Demikian kisah KH Hasan Maolani Eyang Lengkong yang merupakan ulama tarekat dari Kabupaten Kuningan yang diasingkan dan wafat di Tondano, Sulawesi Utara.