BACA JUGA:Hadiri Muktamar Muhammadiyah dan Aisyiyah ke-48, Ridwan Kamil: Semoga Membawa Islam Berkemajuan
"Untuk perang 5 tahun melawan Diponegoro, Belanda menghabiskan pendapatan 10 tahun dari seluruh daerah jajahannya," tutur pegiat sejarah tersebut.
Anggaran perang yang demikian besar, dikarenakan Belanda harus membangun 280 benteng sejak tahun kedua sampai keempat Perang Jawa.
Benteng itu, dibangun mulai dari Banyumas sampai dengan Kertosono di Jawa Timur. Tujuannya adalah menguasai wilayah dan memutus jalur logistik pasukan Pangeran Diponegoro.
"Kehancuran keuangan Belanda waktu itu, orang Belanda Selatan yang memberontak akhirnya bisa mendirikan Belgia," jelasnya.
BACA JUGA:Bertekad Tingkatkan IPP, Whisnu Sentosa Resmi Daftar Calon Ketua KNPI Kabupaten Cirebon
Kerugian Belanda yang sangat besar, dibayar dengan mengirimkan seorang Gubernur Jenderal yang sangat jenius.
Yakni, Johannes Van Den Bosch yang mengkreasi satu sistem penjajahan baru. Dia menghapuskan penjajahan konvensional dan berganti menjadi motif ekonomi.
Model itu, dimulai dengan penguasaan lahan dan memaksa masyarakat menanam sesuai komoditi yang sedang mahal harganya di Eropa.
Kebijakan tersebut dimulai 1830 sampai dengan 1870. Dari tanam paksa itu, Belanda menghasilkan 850 juta Gulden.
BACA JUGA:Kemenaker: Penetapan UMP Tidak Lebih dari 10 Persen
"Itu untung besar. Belanda menghasilkan uang jauh lebih banyak dari biaya perang melawan Pangeran Diponegoro," tuturnya.
Tetapi, keuntungan besar tersebut, justru melahirkan polemik baru. Yakni munculnya kaum ningrat, hingga kelompok lainnya.
Kemunculan kelompok tersebut juga kalangan terpelajar, yang pada akhirnya menjadi pemicu munculnya gerakan untuk kemerdekaan Indonesia.
"Pangeran Diponegoro adalah penendang bola salju kemerdekaan Indonesia. Sebab, pada akhirnya memicu munculnya politik etnis dan masyarakat yang berkesadaran nasional," ungkapnya.
BACA JUGA:MBS Siap Danai Renovasi Masjid Islamic Center Jakarta Pasca Insiden Kebakaran Kubah