Mendengar kabar Nyi Mas Baduran tewas, pihak Kesultanan Cirebon menyayangkan hal tersebut.
Kemudian diutuslah putri dari Nyi Mas Baduran sendiri yang bernama Nyi Mas Pulung Ayu didampingi Pangeran Jaya Lelana untuk menguburkannya secara layak.
BACA JUGA:6 Mitos Gunung Eweranda, Namanya Bikin Pikiran Traveling, Ada Kaitan dengan Sungai Cimanuk
Tugas mempersiapkan sebuah pedukuhan, dilanjutkan oleh mereka berdua sebelum pasukan Demak tiba.
Setelah selesai, Nyi Mas Pulung Ayu memutuskan untuk tinggal di daerah Baduran untuk meneruskan dan merawat kuburan sang ibunya.
Pada tahun 1563, datanglah tentara Demak yang dipimpin Fatahilah, melakukan penyerangan terhadap Portugis di Sunda Kelapa yang saat itu sudah berubah nama Republik Batavia.
Kemudian Republik Batavia berganti nama menjadi Jaya Karta yang artinya Kota Kemenangan, dan sekarang dikenal dengan nama Jakarta.
BACA JUGA:Sungai-Sungai Besar di Kuningan yang Menyimpan Misteri dan Tragedi
Setelah menaklukan Batavia, banyak dari tentara Demak yang memilih untuk tinggal di padukuhan Baduran.
Tempat yang awalnya persinggahan, akhirnya berubah menjadi sebuah pedukuhan yang ramai dengan penduduk.
Dan pada tahun 1565, Baduran resmi menjadi sebuah desa yang dikepalai oleh seorang Kuwu bernama Kuwu Wertu.
Kemudian pada tahun 1576, Desa Baduran dinaikkan statusnya menjadi pedemangan, dengan seorang Demang Pangeran Jaya Lelana menjadi Demang yang bergelar Adipati Suranenggala.
BACA JUGA:Misteri Gunung Tilu Kuningan, Hulu Bagi 3 Sungai dan Larangan Bagi Para Pendaki
Tahun 1782, Kesultanan Cirebon sudah sedikit dikuasai oleh pihak Belanda dengan Jendral Van Hotman sebagai Ajudan dari Dengles.
Jendral Van Hotman kemudian, memerintahkan agar pademangan Baduran dihilangkan dan diambil alih kekuasaannya oleh Residen Cirebon yang bermarkas di Kerucuk sekarang.
Setelah itu, tanah Baduran dibagi menjadi dua, Karang Reja, dan tanah Baduran.