Dari Keluhan Pelayanan Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Sosial (BPJS)

Kamis 30-01-2014,10:14 WIB
Reporter : Dedi Darmawan
Editor : Dedi Darmawan

Carut marutnya program Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Sosial (BPJS), bukan hanya dirasakan rumah sakit swasta di Jakarta, tetapi juga di Cirebon. Rata-rata mengeluhkan rendahnya tarif yang dikeluarkan BPJS, sehingga membuat rumah sakit swasta harus menombok kekurangan biaya pelayanan kesehatan. ** HUMAS Rumah Sakit Sumber Waras (RSSW) Kabupaten Cirebon, Bambang menjelaskan, beredarnya informasi bahwa sejumlah rumah sakit swasta di Jakarta memutuskan kerjasama BPJS, akan berpengaruh kepada RS swasta di daerah. Banyaknya persoalan, seperti minimnya pengetahuan dari masyarakat terkait pemahaman program BPJS, tidak masuknya plafon atau rate biaya yang diajukan BPJS, menjadi kendala bagi rumah sakit swasta. “Kebijakan dari perubahan besaran plafon itulah yang terkadang membuat kita kerepotan. Namun komitmen awal yang masih membuat kami tetap bertahan untuk melayani masyarakat,” ujarnya saat ditemui di ruang kerjanya, kemarin (29/1). Dikatakan Bambang, ada 144 diagnosa penyakit pada pasien yang harus ditangani dan dilayani untuk fasilitas kesehatan primer tingkat kecamatan atau puskesmas. Artinya, indikasi atau trombosit yang lebih di luar klasifikasi tersebut, perlu dirujuk ke rumah sakit. Hal itupun belum disosialisasikan kepada masyarakat. Pihaknya mengakui, jika program tersebut ditetapkan secara terpusat, padahal mekanisme di daerah berbeda. Oleh karena itu, kata Bambang, sistem dari syarat plafon harus diubah dan ditinjau ulang. Ia menyebutkan, sejak mulai digulirkannya program tersebut pada awal Januari tahun ini, sudah ada dua sampai tiga pasien yang secara mendadak menjadi peserta BPJS, setelah diketahui bahwa plafonnya sangat besar akibat diagnosa penyakit pasien tersebut. “Terus terang kita sangat kesusahan ketika ada pasien yang sudah masuk ke bagian umum. Namun tiba-tiba karena mengetahui biayanya besar dari diagnosa, si pasien itupun mendadak membuat BPJS dan dalam waktu dua hari sudah memegang kartunya. Di sisi lain, kita harus mengacu kepada pembayaran besaran plafon yang sudah ditetapkan BPJS. Tetapi besaran yang tidak spesifik itulah yang membingungkan pihak rumah sakit,” terangnya. Jika hal itu terus terjadi di setiap pasien umum, lanjut Bambang, maka akan membuat rumah sakit swasta kelabakan. Padahal, pihak rumah sakit telah membayar besaran rate biaya kepada BPJS. Terpisah, Humas RS Pelabuhan, Yeni Rahmawati SE menyebutkan hingga kini pihaknya masih membuka layanan terhadap pasien BPJS Kesehatan sesuai Perjanjian Kerjasama (PKS). Kontrak kerjasama itu berdurasi selama satu tahun. \"Tahun lalu kami juga melayani pasien Askes dan Jamsostek. Tahun ini setelah berubah nama menjadi BPJS Kesehatan, kami tetap melayani pasein BPJS,\" tukasnya kepada Radar, Rabu (29/1). Dia mengatakan, secara umum tidak ada perubahan dalam pelayanan dan sistem BPJS. Hanya saja, memang ada kenaikan tarif pembayaran klaim asuransi BPJS. Namun, kenaikan pembayaran klaim asuransi BPJS, ternyata masih jauh di bawah harga yang ditentukan Rumah Sakit, hanya sebagian saja yang ditanggung BPJS. Sehingga pihak rumah sakit masih harus menombok kekurangan biaya pelayanan kesehatan. \"Saya rasa keluhan ini hampir dirasakan oleh rumah sakit-rumah sakit swasta. Kita inginkan ada perbaikan tarif lagi, karena tarif yang ada sekarang masih jauh di bawah harga yang ditetapkan rumah sakit,\" paparnya. Ia berharap, NCC dan Kemenkes bisa mengkaji ulang terkait perbaikan tarif tersebut. Sebab ini juga akan menyangkut kesejahteraan para dokter dan petugas medis lainnya. Meski demikian, pihaknya tidak akan menolak pasien BPJS Kesehatan. Karena tetap berkomitmen terhadap Perjanjian Kerjasama (PMS) yang sudah ditetapkan. \"Kita akan tetap melayani pasien BPJS sesuai prosedur,\" ungkapnya. Salah satu prosedur untuk mendapatkan pelayanan kesehatan BPJS, adalah pasien harus membawa surat rujukan dari Fasilitas Kesehatan Primer. Selain itu, mereka juga harus menunjukkan Kartu BPJS dan foto kopi KTP. \"Baru bisa dilayani oleh kami. Hanya saja, apabila nanti penyakitnya membutuhkan penanganan yang spesifik, tentu kita akan merujuknya ke rumah sakit yang sudah memiliki fasilitas dan tenaga dokternya,\" tukasnya. Hal senada diungkapkan Petugas Klaim RS Ciremai, Rahmat S. Ia menyebutkan, pihaknya sampai sekarang masih mengikuti Perjanjian Kerjasama dengan BPJS Kesehatan. Meski pun harus menombok kekurangan tarif yang dibayar BPJS. \"Kita gunakan subsidi silang. Artinya ada keuntungan dari pos yang lain yang dibayarkan untuk menebus kekurangan biaya dari yang dibayarkan oleh BPJS Kesehatan ini,\" terangnya. Pihaknya mengaku, untuk anggaran BPJS Kesehatan ini, rumah sakit harus membayar modal terlebih dahulu karena klaim asuransi BPJS baru bisa dicairkan akhir bulan. \"Setelah klaim kita rekap baru bisa dicairkan. Makanya, kita masih sangat berhati-hati untuk menangani pasien BPJS ini, persyaratan juga harus jelas,\" katanya. Hal ini yang menjadi dilematis, karena rumah sakit swasta tentu saja tidak sama dengan rumah sakit pemerintah. \"Kita juga harus memikirkan pengeluaran lainnya, seperti gaji pegawai dan lainnya, sementara untuk rumah sakit pemerintah kan para pegawainya sudah digaji oleh negara. Inilah yang menjadi keberatan dari pihak rumah sakit swasta,\" tukasnya. Ia menyebut, selain masalah tarif pembayaran BPJS yang jauh di bawah tarif yang ditentukan rumah sakit, pihaknya juga masih kesulitan untuk mencari obat untuk pasien BPJS. Karena obat untuk pasien BPJS ini harus sesuai dengan standar nasional. \"Kita selalu konsultasi dengan petugas BPJS, karena yang namanya kondisi di lapangan, banyak masalah yang muncul,\" tukasnya. Warga juga masih mengeluhkan pelayanan BPJS. Seperti dikatakan Kurniadi (34). Pria yang bekerja sebagai buruh ini tidak begitu paham dengan BPJS. \"Sosialisasinya sangat minim. Mestinya BPJS Kesehatan aktif melakukan sosialisasi di lapangan, baik dengan mendatangi pabrik atau lainnya,\" katanya. Saat ini, lanjut Kurniadi, masih banyak kekurangan terkait BPJS Kesehatan. Baik dari sisi infrastruktur maupun pelayanan. \"Minimnya sosialisasi dan infrastruktur ini juga membuat para buruh kebingungan untuk mendaftar dan mengakses layanan BPJS Kesehatan,\" tambahnya. Lain lagi dengan Yulia Wardhani SH MKn yang sebelumnya sudah memakai kartu Askes. Namun, sejak Askes berubah menjadi BPJS, Yulia mengatakan, program ini masih banyak yang harus diperbaiki. \"Saya sendiri pengguna Askes, karena suami saya PNS. Dengan sampul yang baru, yakni BPJS, diharapkan lebih unggul dari Askes. Terdepan melayani masyarakat, tanpa membeda-bedakan status sosialnya,\" ujar wanita yang berprofesi sebagai notaris itu. Yulia berharap, program kesehatan ini bukan hanya berubah sampul saja, melainkan harus memperbaiki kualitas pelayanannya. \"Jangan hanya berubah sampul, tapi perbanyak bobot pelayanannya. Sehingga bukan hanya sekadar ganti sampul dan struktur saja,\" harapnya. Sementara itu, Ratih Ruslan, salah satu warga Cirebon mengatakan, program BPJS sangat bagus. Namun, kata Ratih, program BPJS diaplikasikan untuk masyarakat dengan Socio Economic Status (SES) bawah sepertinya kurang tepat. \"Karena warga dengan SES bawah untuk makan saja susah, gimana mereka bisa bayar untuk per bulannya?\" ujarnya. Menurut pengalaman Ratih, ia pernah mendengar beberapa keluhan tentang program ini. \"Banyak yang bilang ribet. Itu kan seperti asuransi, harusnya prosesnya bisa dimudahkan. Sosialisasinya juga harus ekstra. Kayak sosialisasi perubahan Askes menjadi BPJS, ada di mana-mana, di tv, radio, koran. Nah, prosesnya juga perlu disosialisasikan, kalau prosudernya mudah, pasti mudah juga saat sosialisasinya,\" pungkasnya. Sementara, antusias warga Kuningan menjadi peserta (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan sangat tinggi, terbukti setiap hari jumlah yang daftar semakin banyak. Untuk pembayaran sendiri selama ini bisa dilakukan dengan menyetor ke bank yang ditunjuk ataupun bisa melalui ATM. Bagaimana kalau ternyata banyak warga yang lupa membayar iuran jaminan kesehatan? Ternyata mereka harus membayar denda 2 persen setiap bulannya. Bukan hanya itu, kalau selama enam bulan tidak bayar akan dibekukan dari kepesertaan BPJS. “Kalau hingga tanggal 11 setiap bulannya belum setor, maka akan kena denda. Kami masih bisa memberikan toleransi apabila pada tanggal 10 merupakan hari libur sehingga tanggal 11 tidak kena denda,” ujar Kepala Operasional BPJS Kabupaten Kuningan, Rudhy Suksmawan kepada Radar, kemarin (29/1). Kemudian lanjut dia, apabila selama enam bulan tidak membayar iuran, maka dinonaktifkan dari kepesertaan. Mereka bisa kembali aktif kalau membayar premi dan denda selama enam bulan. Rudhy menjamin, semua peserta sudah mengetahui hal tersebut karena ketika mendaftar, mereka diberikan informasi yang jelas. Denda dua persen sendiri cukup besar, makanya warga harus membayar tepat waktu. (ono/jml/mike/mus)

Tags :
Kategori :

Terkait