JAKARTA - Kompetisi Indonesia Super League (ISL) 2014 akan digulirkan hari ini (1/2). Namun, di usia kompetisi yang memasuki tahun keenam tersebut, kemajuan dan peningkatan kualitas kompetisi belum bisa ditunjukkan. Bukan sekadar ucapan, ISL memang tidak perlu diragukan untuk urusan kuantitas karena banyaknya klub yang berkompetisi. Atau pun besarnya animo suporter maupun penikmat bola di rumah yang menonton langsung. ISL layak diacungi jempol. Tapi, untuk kualitas kompetisi dan upgrade kualitas klub-klub yang berkompetisi, sejauh ini belum maksimal. Tengok saja dari sisi finansial, masih banyak klub yang bermasalah secara keuangan, tapi bisa melenggang santai berkompetisi. Padahal, tunggakan gaji masih tersisa ratusan juta. Itupun dipastikan memengaruhi keuangan mereka untuk musim ini, alias pas-pasan. Selain itu, soal infrastruktur, masih banyak stadion yang kurang layak tapi mendapatkan toleransi untuk menggelar laga. Dengan kenyataan ini, CEO PT Liga Indonesia (PT LI) Djoko Driyono pun pernah mengakui dengan fair jika ISL tertinggal dengan kompetisi negara lain di Asia Tenggara. „Harus disadari, Kita masih dianggap di bawah mereka. Klub-klub belum banyak berinvestasi. Concern kita sekarang terus mendorong klub. Bahwa profit itu ada korelasi dengan investasi,“ katanya beberapa waktu lalu di kantor PT LI. Memang, dahulu ISL layak diacungi jempol dan berada di barisan terdepan negara-negara Asia, untuk urusan pengelolaan kompetisi. Jadi, level ISL saat itu bukan hanya diperbincangkan di level Asia Tenggara, tapi juga Asia. Kualitas kompetisi pada 2008-2009 silam dianggap sebagai delapan besar terbaik di Asia. Tapi, itu menurut Djoko dahulu kala.“Saat ini, kita dinilai masih berada di bawah Liga Malaysia, maupun Thai Premier League di Thailand,“ ujarnya. Apa sebabnya? Karena sepak bola di Indonesia masih jauh dari profil sepak bola sebagai industri. Menurut Djoko, perlu waktu antara 4-8 tahun untuk membawa sepak bola Indonesia, layaknya profil industri yang diinginkan. Dengan kata lain, saat ini masih dalam tahap investasi, dan untuk merasakan profit besar, profit sepak bola sebagai Industri butuh beberapa tahun lagi. Uang yang berputar dalam kompetisi Indonesia bisa mencapai nilai di atas Rp1 triliun. Tapi, itu belumlah sehat karena maih berat di klub-klub tertentu, dan uang yang berputar bukan berasal dari industri yang dihasilkan oleh sepak bola itu sendiri. Saat ditanya, Djoko mengakui sejatinya sepak bola dan klub-klub di Indonesia bisa mapan lebih cepat. Itu dengan kondisi sepak bola sehat dari saat ISL mulai diputar sampai saat ini. Namun, gejolak organisasi, konflik di sepak bola yang berjalan dua tahun, membuat kompetisi Indonesia yang mulai melaju dengan baik, harus tergerus. \"Tapi kita tidak murni memulai dari awal, karena klub sudah menjalani fase-fase persiapan,\" tuturnya. Karena itu, saat ini PSSI dan PT LI tinggal memaksimalkan potensi ke depan, untuk membuat klub lebih profesional. Dan melanjutkan cita-cita sepak bola Industri yang sempat terpuruk karena konflik organisasi sepak bola menahun. \"Karena itu, klub yang memiliiki effort untuk menjadi profesional tidak lantas diamputasi. Tapi, terus didorong, karena mereka memiliki keseriusan. Dan itu dilakukan secara bertahap,\" tandasnya. Dengan kondisi klub-klub Indonesia saat ini, harapan untuk bisa tampil di Liga Champions Asia (LCA), lolos club licensing tidak bisa mudah didapat. Dalam perhitungannya, Djoko menilai klub Indonesia baru siap untuk ke LCA setelah dua musim kompetisi unifikasi dengan peserta 22 ini berjalan. (aam)
Kembalikan Kebesaran Kompetisi!
Sabtu 01-02-2014,13:28 WIB
Editor : Dedi Darmawan
Kategori :