Sejarah Desa Slangit, Hutan Angker dan Larangan Menjual Nasi

Minggu 04-02-2024,03:34 WIB
Reporter : Asep Kurnia
Editor : Asep Kurnia

Penduduk Desa Slangit, tidak ada yang menjual nasi. Jika ada yang berjualan, hanya menyediakan lauk-pauknya.

Andai ada pembeli memaksa, disediakan gratis. Tak masuk daftar pembayaran. Pedagang juga menolak untuk dibayar. Mereka ikhlas, tanpa menggerutu setelahnya. 

Dan ini hanya berlaku di Desa Slangit. Tidak di desa tetangga seperti Kreo, Klangenan atau Pekantingan.

BACA JUGA:Deklarasi Dukungan Terhadap Prabowo-Gibran di Cirebon, Dihadiri Ridwan Kamil

Larangan menjual nasi ini erat kaitannya dengan jiwa sosial leluhur. Yang memiliki kepedulian tinggi untuk memberi. Apalagi itu kebutuhan pokok. 

“Kalau ada tamu dari mana saja, nasi itu jangan dijual. Biar dikasihkan saja,” ujar kepala desa setempat, Sura Maulana, dikutip dari Radar Cirebon, 19 November 2020.

Bukan berarti semua yang terbuat dari nasi dilarang. Ada pengecualian. Seperti lontong dan bubur. Terbuat dari beras tapi bukan berbentuk nasi. Hanya beda pengolahan dan penyebutan. Itu, boleh.

Termasuk pantang menjual nasi yang diambil dari luar Desa Slangit. Nasi jenis apapun. Baik itu kuning, uduk, termasuk lengko. Jika ada akan berdampak sama. Sial atau meninggal. 

BACA JUGA:Siswa SMA asal Kota Cirebon Dijemput Polisi, Diduga Terkait UU ITE Pornografi

“Memang itu kuasa yang di atas, tapi kenyataan atau buktinya banyak,” ucap Sura.

Sura mengatakan, pada umumnya mereka yang nekat melanggar sebelumnya memang terlihat berhasil. Baik itu rezeki atau karir. 

Keberhasilan itu terlihat pesat, tak seperti biasa. Namun tak lama setelah itu, perlahan harta akan habis. Termasuk usaha yang mengalami kebangkrutan.

“Tokoh agama ada yang meninggal. Lalu tetangga termasuk paman saya mengalami sial itu. Harta habis termasuk harta yang dari orang tua,” katanya. (*)

Kategori :