Angin kumbang pada umumnya terjadi pada musim kemarau. Atau antara bulan Juli sampai akhir September.
Namun demikian, media itu juga menjelaskan soal perbedaan prilaku dan pola pikir warga soal kesehatan. Ada perbedaan mencolok antara warga lokal dengan warga Tionghoa dan Arab.
Dijelaskan, orang-orang Tionghoa dan Arab, mereka sangat menjaga soal kebersihan. Hal ini sangat berbeda dengan warga lokal. Padahal semua tinggal tinggal di pusat kota.
Media itu menyontohkan, untuk memenuhi kebutuhan air minum, orang-orang Arab dan Tionghoa, memiliki martavan. Semacam wadah dari batu bata untuk digunakan sebagai menampung air hujan.
BACA JUGA:Momen Pelaku Pembunuhan di Kedawung Cirebon Datang ke Kosan Korban, Terekam CCTV, Lihat!
Hal tersebut sangat berbeda dengan warga pribumi Cirebon pada umumnya. Bisanya warga setempat meminta air kepada teman atau kenalan. Mereka mandi di sumur yang airnya dapat diminum.
Karena pusat Kota Cirebon lokasinya di bibir laut, sebagian besar air sumur berisi air payau. Air sumur tersebut hanya bisa digunakan untuk mencuci dan mandi. Tapi tidak cocok untuk air minum.
Media Belanda itu juga menjelaskan keengganan warga lokal untuk diajak kerja sama mengatasi wabah. Baik itu malaria ataupun kolera.
Dalam pandangan dan pola pikir warga lokal, wabah penyakit itu sudah menjadi takdir yang harus diterima mereka. Warga pun hanya pasrah dengan takdir tersebut.
BACA JUGA:Keputusan Nasdem: Eti Calon Walikota Cirebon, Tinggal Cari Wakilnya
Begitulah kesulitan pemerintah Hindia Belanda untuk mencegah terjadinya wabah penyakit yang melanda warga pusat kota dan sekitarnya.
Namun, media itu juga menjelaskan jika pemerintah Hindia Belanda tetap mengajak warganya untuk bida bertahan. Terutama menjaga kesehatan dari kondisi Cirebon yang sangat kumuh.
Warga pun disarankan untuk beradaptasi dengan keadaan, menjaga diri dan tidur tepat waktu. Juga, menjalani kehidupan teratur. Terutama saat musim angin kumbang. (*)