Mengenai cara mengantisipasi agar SARA tidak mengemuka ke publik, mungkin dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara, internal dan eksternal. Internal, yaitu melalui intern parpol.
Partai politik sebagai peserta pemilihan serta wadah berdemokrasi mesti ketat dalam tahapan-tahapan penyeleksian, agar figur yang akan didaftakan ke KPU sebagai peserta pemilu benar-benar mumpuni dan layak jual.
BACA JUGA:Target Juara Liga 1 2024/2025, Bali United Balik ke Apparel Lama
Partai politik dapat mempertimbangkan calon-calon yang telah resmi mendaftarkan diri ke partainya, tidak sebatas berorientasi pada program dan strategi calon, namun trac-record nya juga harus jelas.
Apakah calon-calon tersebut punya dosa masa lalu berkaitan dengan kasus-kasus SARA atau tidak. Hal ini tak kalah pentingnya, sebab akan berpengaruh fatal.
Tidak hanya pada masa-masa kampanye, saat kemenangan di raih lalu kekuasaan ditangan nya berpotensi melakukan dan menciptakan diskriminasi terhadap kelompok minoritas.
Cara yang kedua, yaitu ekternal. Cara ini dilakukan oleh lembaga-lembaga di luar wewenang partai politik. Misalnya, oleh penyelenggara pemilu, baik KPU maupun Bawaslu.
Kendatipun terang disebutkan larangan kampanye SARA sebagaimana tertuang dalam pasal 4 PKPU tentang pencalonan (butir b) “Setia kepada pancasila, UUD Negara RI 45, Cita-cita pokok proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan NKRI”, namun praktek politik kerapkali menyinggung masalah SARA.
Nampaknya, komitment politik itu perlu ditekankan ulang, misalnya melalui “Deklarasi Pemilu Anti SARA” atau sejenisnya untuk menghindari praktek kotor dan keji yang dapat merusak sendi-sendi utama NKRI.
BACA JUGA:637 Atlet Ikut Tes Fisik yang Digelar KONI Kabupaten Cirebon, Sutardi: Persiapan Menuju Prestasi
Cara eksternal, dapat juga dilihat dari lembaga lain selain penyelenggara pemilu. Seperti diketahui, menguaknya isu SARA di pilkada DKI beberapa tahun lalu, adalah disebabkan adanya fatwa lembaga suci, MUI. Fatwa MUI mengenai kewajiban memilih pemimpin muslim, menjadi faktor pemicu.
Hingga terbentuk sebuah wadah yang dinamakan GNPF-MUI (Gerakan Nasional Penyelamat Fatwa-MUI). Tanpa tanggung-tanggung, gerakan ini memobilisasi jutaan masa dari berbagai daerah menuju Jakarta.
Semestinya, sebagai lembaga kesucian tentang keagamaan tidak ikut intervensi dalam perpolitikan. Tidak mengeluarkan pernyataan kontra produktif, menjadikan salah satu kandidat (paslon) terpojokkan.
Kalaupun ingin ikut berpartisipasi, cukup sebatas imbauan mensukseskan pelaksanaan pemilu, misalnya fatwa “Haram Golput”, “Anti Money Politik” dan lain sebagainya, bukan merugikan seseorang untuk menunaikan haknya sebagai warga negara dalam demokrasi.
Ketiga, apa yang seharusnya dilakukan untuk tetap menjaga persatuan antar umat beragama ketika isu SARA sering menjadi permasalahan dalam perpolitikan kita?
Harus diakui sekarang setiap kali diadakan pemilihan mengalami proses deparpolisasi. Masyarakat seakan sudah tidak percaya dengan adegan-adegan politik yang dilakukan kaum elit politik, baik kandidat, parpol, pendukung, tim kampanye maupun relawan.