CIREBON, RADARCIREBON.COM - Dalam sepekan ini, ada sejumlah momen istimewa bagi masyarakat Cirebon. Selain tanggal 1 Muharram pada Minggu (7/7/2024) besok yang diperingati sebagai hari lahir Kota Cirebon, pada tanggal 26 Dzulhijjah/Rayagung pada Selasa (2/7/2024) lalu, masyarakat Cirebon juga memperingati haul meninggalnya Sunan Gunung Jati.
Bagi masyarakat Cirebon, Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati menjadi sosok yang sangat dihormati. Selain dikenal sebagai salah satu walisongo penyebar agama Islam di tanah Jawa, Sunan Gunung Jati juga juga merupakan figur kunci dalam pembentukan politik Islam di wilayah Jawa Barat.
Komplek pemakaman Sunan Gunung Jati-KHOIRUL ANWARUDIN-radarcirebon.com
Menurut sejarawan Cirebon, Farihin sosok Sunan Gunung Jati merupakan salah satu diantara Wali Songo yang tidak saja menjadi seorang ulama, tetapi juga seorang Umaro (penguasa). Sunan Gunung Jati telah berjasa dalam pembangunan di tiga wilayah penting, yakni Cirebon Jakarta dan Banten.
Disebutkan bahwa Sunan Gunung Jati, lahir dengan nama Syarif Hidayatullah atau Sayyid Al-Kamil pada Tahun 1448 Masehi dari pasangan Syarif Abdullah Umdatuddin bin Ali Nurul Alam (dari Mesir) dan Nyai Rara Santang, Putri Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari Kerajaan Pajajaran. Nyai Rara Santang setelah masuk Islam berganti nama menjadi Syarifah Mudaim.
BACA JUGA:CV Perwira Kreasindo Ajak Taman Pohon
Mangkatnya kedudukan pangeran Walangsungsang sebagai penguasa Cirebon pada 1479 M, kemudian digantikan oleh putra adiknya yakni Sunan Gunung Jati yang sebelumnya menikahi Nyimas Pakungwati (putri dari Pangeran Walangsungsang dan Nyai Indang Geulis).
Di bawah kepemimpinan Sunan Gunung Jati, Kasultanan Cirebon mengalami perkembangan yang sangat pesat. Selain itu, Sunan Gunung Jati juga melakukan penaklukan sejumlah wilayah.
Pada 22 Juni 1527, pasukan gabungan dari Cirebon, Demak dan Banten yang dipimpin oleh Maulana Hasanuddin berhasil mengalahkan Sunda Kelapa.
Menurut Farihin, dalam Purwaka Caruban Nagari dijelaskan bahwa peran Sunan Gunung Jati dalam penaklukan Sunda Kelapa adalah memerintahkan komandan pasukannya, yakni Pangeran Fatahillah atau Ki Bagus Aceh untuk menyerang Sunda Kelapa agar tidak diduduki oleh Portugis. Ada sekitar 1200 pasukan yang tergabung, diantaranya adalah, Ki Ageng Bungko, Pangeran Cerbon, anak Pangeran Cakra, Adipati Cangkuang, Pangeran Arya Kemuning dan lainnya.
BACA JUGA:Asah Kreativitas Siswa, Mahasiswa IPB Cirebon Beri Pelatihan Tari Tradisional
Selain Sunda Kelapa, wilayah lain yang berhasil ditaklukan adalah Kerajaan Galuh pada 1528, Talaga (1529) dan Indramayu (1530).
Nah setelah masa-masa penaklukan wilayah itu, Sunan Gunung Jati kemudian menyerahkan tampuk kepemimpinannya kepada putranya, Pangeran Pasarean. Setelah itu, ia lebih banyak melakukan kegiatan dakwah ke wilayah Tatar Sunda dan wilayah Jawa.
Selain itu, Ia juga menghabiskan masa senjanya di Astana Gunung Sembung. Di Gunung Sembung ini, Sunan Gunung Jati menyendiri dan menghabiskan waktu untuk berdzikir dan bertafakur kepada Allah SWT.
Pada tahun 1568 H, saat usianya sudah menginjak 120 tahun, Sunan Gunung Jati mengumpulkan putra-putranya, cucu-cucunya, para saudara dan kerabat yang lain termasuk Sunan Kalijaga. Pada kesempatan itu, Sunan Gunung Jati menyampaikan wasiat atau ipat ipat. Beberapa poinnya adalah perintah-perintah beliau larangan-larangan beliau yang harus dilaksanakan dan dijauhi.
BACA JUGA:DAM Ajak Jurnalis Workshop Cara Penanganan Limbah Rumah Tangga
"Maka muncullah petatah petitih Sunan Gunung Jati, diantaranya Ingaun titip tajug lan fakir miskin, hormat ing pusaka, hormat ing wong tua, emana lan hormata ing pusaka, hormat ing leluhur, sholat kaya ing pucuke panah, puasa kaya tetaling gondewa dan seterusnya, " Beber Farihin.
Menjelang wafatnya, pada malam Jumat Kliwon tanggal 26 Dzulhijjah/Rayagung 891 Hijriah atau tanggal 11 Krisnapaksa bulan Badramasa tahun 1491 Saka, Sunan Gunung Jati disebutkan berbaring di tanah beralaskan daun dan berbantalkan batu.Saat tiba waktunya makan sahur, Sunan Gunung Jati menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Menurut Farihin, Sunan Gunung Jati meninggal dan dikuburkan di tempat yang sama, yakni Astana Gunung Sembung atau di Giri Nur Sapta Rengga. Tempat itu merupakan tempat tinggal yang juga diperuntukkan untuk pemakamannya.
Di tempat itu pula, dikuburkan sejumlah tokoh lainnya, seperti Pangeran Cakrabuana, Putri Ong Tien, Pangeran Jaya Kelana, hingga Pangeran Panjunan dan Pangeran Kejaksan juga dikuburkan di Astana Gunung Sembung.
BACA JUGA:Asah Kreativitas Siswa, Mahasiswa IPB Cirebon Beri Pelatihan Tari Tradisional
"Jadi yang sekarang jadi makam, itu adalah tempat tinggalnya, " Ungkap Farihin.
Namun sayangnya, kata Farihin di dalam sejumlah naskah tidak dijelaskan kapan tepatnya mendiang Sunan Gunung dimakamkan. Apakah pada saat pagi hari, siang setelah shalat jumat atau malam hari.
Hanya saja, dalam catatan naskah, disebutkan bahwa prosesi pemakaman Sunan Gunung Jati, dipimpin langsung oleh Sunan Kalijaga. Selain itu, dalam momen tersebut hadir pula Maulana Hasanuddin, Pangeran Fatahillah, Panembahan Ratu dan pejabat struktural Kasultanan Cirebon.
Meninggalnya Sunan Gunung Jati juga membawa kesedihan mendalam bagi masyarakat Cirebon. Disebutkan bahwa, selain kerabat dan family, meninggalnya Sunan Gunung Jati juga ditangisi oleh masyarakat Cirebon.
Bahkan ada khoriqul 'adah atau cerita di luar kebiasaan yang berkembang. Dalam Naskah Mertasinga misalnya, disebutkan saat prosesi penguburan itu, jasad Sunan Gunung Jati sirna ke langit dijemput para malaikat, dan yang tertinggal hanya jubah dan tasbihnya saja.
BACA JUGA:DAM Ajak Jurnalis Workshop Cara Penanganan Limbah Rumah Tangga
Hal-hal tersebut dapatlah lanjut Farihin dimaklumi, mengingat dalam naskah Cirebon pada umumnya ditulis dengan tembang metafor dan juga didalamnya memuat nilai-nilai mistis.
Namun yang pasti, betapa sosok Sunan Gunung Jati diagungkan oleh masyarakat Cirebon adalah lestarinya tradisi kliwonan, yakni mengunjungi makam Sunan Gunung Jati setiap malam Jumat Kliwon. Ribuan peziarah datang dari penjuru Cirebon dan sekitarnya. Bahkan banyak juga yang datang dari luar daerah. (awr)