Nasionalisasi perusahaan termasuk pabrik gula di Cirebon ini berdasarkan Undang-Undang Nasionalisasi Perusahaan Belanda No. 86 tahun 1958, yang diresmikan pada 27 Desember 1958.
BACA JUGA:Sifat dan Karakter Wedal Selasa Menurut Tradisi Sunda Kuno: Keberuntungan dan Rezeki
BACA JUGA:Kemenag Janji Dalam Dua Tahun Urusan Sertifikasi Guru Madrasah dan Pesantren Selesai
Nasionalisasi ini juga melibatkan pembentukan Badan Penyelenggara Perusahaan Gula Negara (BPPGN) untuk mengelola industri gula.
Pabrik-pabrik gula yang sebelumnya dikelola oleh perusahaan Belanda seperti PG Sindanglaut, PG Tersana Baru, dan lainnya kemudian dimasukkan ke dalam struktur perusahaan negara.
Transformasi ini juga dilanjutkan dengan restrukturisasi lebih lanjut, sehingga pada tahun 1968, sektor ini menjadi bagian dari PN Perkebunan XIV, yang kemudian dikenal sebagai PT Rajawali II.
Pabrik gula di Cirebon memainkan peran penting dalam perekonomian lokal dan mencerminkan dampak kolonialisme pada struktur ekonomi dan sosial di Indonesia.
BACA JUGA:Kenalkan Produk UMKM Jabar ke Mancanegara, Dekranasda Jalin Kerja Sama dengan Dewata Nusantara Bali
Namun, beberapa pabrik gula, termasuk Sindanglaut, menghadapi tantangan operasional yang membuatnya berhenti berproduksi pada era modern.
Sejarah 3 Pabrik Gula di Cirebon
1. Pabrik Gula Sindanglaut
Pabrik Gula Sindanglaut didirikan pada tahun 1896 oleh Benjamin Feist dengan dukungan dari perusahaan Belanda Nederlandsch Indische Landbouw Maatschappij (NILM).
Pada masa kejayaannya, pabrik ini mampu memproduksi gula hingga lebih dari 10.000 ton. Terbesar di Asia.
Pasca Perang Dunia II, pabrik mengalami kerusakan dan terbengkalai hingga akhirnya dinasionalisasi pada 1958 melalui Undang-Undang Nasionalisasi Perusahaan Belanda.
Saat ini, Pabrik Gula Sindanglaut berada di bawah naungan PT Rajawali II, meski sempat tidak beroperasi sejak 2020 karena masalah keuangan.
2. Pabrik Gula Tersana Baru