Ratusan Pabrik Rotan Bangkrut

Jumat 25-03-2011,07:01 WIB
Reporter : Dedi Darmawan
Editor : Dedi Darmawan

SUMBER – Lesunya industri rotan dalam negeri dinilai bukan karena kesalahan pengusaha, tapi justru karena kesalahan kebijakan pemerintah RI. Dengan kebijakan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu yang mengizinkan ekspor bahan baku rotan sejak 2005, maka kompetitor di luar negeri yang sebelumnya mati sekarang bisa berproduksi lagi karena mendapatkan bahan baku dari Indonesia. “Sebelum diperbolehkannya ekspor bahan baku rotan, market furnitur rotan di dunia bisa dikatakan 100 persen dari Indonesia. Sekarang, begitu ba­han baku bisa diekspor akibat kebijakan pemerintahan SBY melalui Menteri Perdagangan maka berbagai negara bisa membuat. Pasar pun direbut oleh kompetitor, yang paling besar dari China dan Vietnam, padahal bahan bakunya dari Indonesia,” ungkap Ketua Asmindo Komda Cirebon Sumartja kepada Radar, Kamis (24/3). Bila ingin menghidupkan kem­bali industri rotan di Indo­nesia, lanjut Sumartja, langkah utamanya adalah menyetop ekspor bahan baku rotan dan menghapus kebijakan Kemen­terian Perdagangan RI. Mestinya hanya mengekspor bahan jadi saja. Dengan keadaan seperti ini, penurunan produksi mencapai 70 persen dan berdampak pada pengangguran. Karena industri kerajinan rotan ini adalah indus­tri padat karya yang banyak me­nyerap tenaga kerja baik yang langsung ataupun tidak langsung. Di sisi lain, lanjutnya meski­pun pemerintah berusaha menga­dakan pameran berkali-kali baik di dalam negeri maupun ikut di luar negeri, upaya tersebut tidak akan maksimal bila ekspor bahan bakunya masih berjalan. Memang dari kementerian lain, seperti Kementerian Perindustrian dan Kementerian Kehutanan telah berupaya untuk menghapus kebijakan ekspor bahan baku rotan tapi tak digubris. “Kebijakan ini ada yang bilang, sama dengan melegalkan pe­nye­lundupan. Lho kok bisa? Misalkan yang mendapat kuota 10 ton bisa saja yang diekspor 50 ton. Aparat penegak hukum pun tidak bisa langsung menuding se­bagai pencurian. Karena, me­re­ka mempunyai izin dan kuo­ta meskipun tidak sesuai,” tandasnya. Masih menurut Sumartja, seb­e­tulnya peraturan tersebut sudah tidak sesuai dengan harapan pemerintah. Dulu pemerintah berharap dengan ekspor bahan baku ini ingin mendapatkan pajak ekspor tapi nyatanya karena ada manipulasi kuota, yang kena pajak hanya sedikit dari kuota riil yang diekspor. Sekarang memang kesulitan untuk mendapatkan bahan baku rotan. Untuk ukuran tertentu, barangnya tidak ada dalam order yang sedikit, apalagi order jumlah banyak. “Diibaratkan sudah jatuh ketiban tangga,” lanjutnya. Selain di Indonesia, kata dia, produsen rotan yang besar itu hanya ada di Italia dan Jer­man. Begitu stop ekspor pada 1986, mereka tidak produksi dan membuka pabriknya di Indonesia. Sekarang dengan membuka ekspor bahan baku, sejumlah negara lain pun ramai-ramai menjadi produsen furnitur rotan. Sedangkan pekerja rotan di Indoensia banyak yang mengganggur lantaran di Cirebon saja sekitar 100 perusahaan gulung tikar. Diakuinya, pada Jumat (25/3) diundang pertemuan break­fast dengan Kementerian Perin­dustrian.  Sebetulnya Kementerian Perindustrian sama misinya yaitu memproduksi dalam negeri dengan mengekspor barang jadi. Penolakan terhadap Permendag No 12 tahun 2005 juga sudah diusahakan bupati, gubernur, Menteri Perindustrian, Menteri Kehutanan bahkan hearing dengan Komisi VI DPR RI juga sudah berkali-kali. ”Tapi kekuatan Menteri Perda­gangan ini luar biasa. Ketika SBY berkunjung ke Cire­bon pada tahun 2007, kami pun sudah meminta, tapi sampai saat ini tidak ada responsnya,” tuturnya. (san)

Tags :
Kategori :

Terkait