Benar saja, Surakaca merasa terhina. Dengan marah, ia bertanya siapa yang memberikan nasi tersebut. Kedua lelaki itu menunjuk pedukuhan Nyi Mas Baduran.
Dengan tenaga tersisa, Surakaca berjalan menuju rumah Nyi Mas Baduran dan mengamuk sambil bertolak pinggang.
Kemarahan Surakaca dan Kebijaksanaan Nyi Mas Baduran
Di rumah itu, Surakaca menuduh Pulungayu, putri Nyi Mas Baduran, sebagai pemberi nasi bekas. Pulungayu ketakutan dan memanggil ibunya.
Nyi Mas Baduran menghadapi Surakaca dengan tenang dan lembut. Ia menjelaskan bahwa ia memang memberi nasi, tetapi tidak pernah mengaduk-aduk isinya.
Perkataan lembut tersebut menyentak kesadaran Surakaca. Ia tersadar telah salah menuduh orang baik. Dengan tulus ia bersujud meminta maaf.
Melihat sikap Surakaca dan kemampuannya, Nyi Mas Baduran meyakini bahwa pemuda ini bukan orang sembarangan.
Ia pun mengangkat Surakaca sebagai tamu kehormatan, kemudian merawat dan memberinya makanan layak setelah masa tapa.
Dari Surakaca Menjadi Adipati Surantaka
Setelah melalui berbagai perjalanan, Surakaca mendapat amanah dari Sunan Gunungjati, tokoh besar dalam sejarah Cirebon. Tugas tersebut berhasil ia jalankan dengan baik.
Sebagai penghargaan, Surakaca diberi gelar Adipati Surantaka.
Setelah wafat, ia dimakamkan di bawah pohon beringin besar di wilayah Suranenggala. Karena itu ia kemudian dikenal sebagai Adipati Waringin.
Seiring waktu, penyebutan Surantaka berubah menjadi Surakarta. Bahkan hingga kini masih banyak masyarakat yang menyebut desa tersebut dengan nama Surantaka.
Desa Surakarta Kini
Sejarah panjang itu melahirkan Desa Surakarta yang kemudian dimekarkan menjadi dua yaitu Desa Surakarta dan Desa Keraton.
Keduanya menjadi bagian penting dari wilayah Kabupaten Cirebon, dengan warisan budaya yang masih dijaga hingga sekarang.