Menelusuri Jejak Kemunculan Idiologi ISIS

Rabu 15-04-2015,09:00 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

Hilangnya 16 WNI di Turki, tertangkapnya 16 WNI di perbatasan Turki-Syiria oleh aparat keamanan Turki serta tertangkapnya beberapa pemodal dan jaringan Islamic State in Iraq and Syiria (ISIS) di Indonesia menjadi pemberitaan hangat hampir semua media baik di dalam maupun luar negeri. Beberapa pengamat dan lembaga negara yang memiliki kompetensi (Deplu, BIN, dan Polri) mensinyalir bahwa mereka menyebrang ke Syiria dengan maksud bergabung dengan ISIS. Baik dengan motif ekonomi (mendapatkan uang yang besar ketika bekerja di ISIS) maupun motif ideologi (baiat kepada khalifah), menjadi warga negara ISIS. Bahkan Badan Inteljen Negara (BIN) menyatakan bahwa sudah 500 WNI lebih bergabung dengan ISIS. ISIS sebenarnya bukan organisasi yang kemunculannya baru dalam gerakan Islam radikal. Mereka merupakan metamorfosis Al-Qaeda, generasi baru pasca Osamah bin Laden. Bahkan kemunculannya berasal dari Al-Qaeda Irak yang dipimpin Abu Mus’ab al Zarqawi, pemimpin dari Jamaah Tauhid wal Jihad yang mengubah organisasinya menjadi Al-Qaeda Iraq (AQI) pada tahun 2004. Al Zarqawi yang sebelumnya berbasis di Herat, Afganistan Barat segera pindah ke Irak Utara yang dihuni mayoritas Sunni, setelah Saddam Husein jatuh pada april 2003. Irak dijadikan sebagai medan jihad baru. Tujuan mereka adalah mengusir pasukan Amerika dari Irak, mendirikan khilafah, memerluas konflik ke negara tetangga dan melibatkan diri dalam konflik Arab-Israel. Al-Zarqawi sempat membentuk organisasi payung, yaitu The Mujahidin Shura Council (MSC) pada Juni 2005. Organisasi ini bertujuan untuk menyatukan kaum perlawanan Sunni. Namun upaya tersebut gagal karena Jamaah Tauhid wal Jihad melakukan tindakan kekerasan yang sembrono terhadap warga sipil dengan menerapkan hukum Islam yang ketat di wilayah yang dikuasainya, yang merupakan komunitas Sunni moderat. Setalah al-Zarqawi tewas pada tahun 2005, posisinya digantikan Abu Ayyub al-Masri. Pada pertengahan Oktober 2006 Abu Ayyub al-Masri kemudian mendeklarasian berdirinya Daulah Islam fi Iraq atau Islamic State of Iraq (ISI). Ini adalah peristiwa penting sebuah elemen Al-Qaeda mendeklarasikan pembentukan sebuah negara. Pada tahun 2007 kekuatan Islamic State of Iraq (ISI) atau Al-Qaeda di Iraq (AQI) sebagian besar terdiri dari sukarelawan dari luar negeri; sekitar 2.000 orang berasal dari Syiria dan sekitar 250 lainnya berasal dari kawasan utara, yakni Chechen—mereka menyebut diri sebagai Jaish Muhajirin wal Anshar (AJA), yang dipimpin oleh Abu Umar al-Shishani. Setelah mendeklarasikan berdirinya Daulah Islam fi Iraq pada 19 April 2007 mereka mengumumkan terbentuknya pemerintahan. Pemerintahan ini dipimpin Abu Umar al-Baghdadi dengan anggota kabinet sebanyak 10 orang. Sebelumnya Abu Umar al-Baghdadi adalah wakil komandan Al-Qaeda, kemudian menjadi pejabat komandan. Pada April 2010 Abu Ayub al-Misri dan Abu Umar al-Baghdadi terbunuh di Tikrit. ISI kemudian dipimpin Abu Bakar al-Baghdadi. Pada April 2013 Abu Bakar al-Baghdadi mendeklarasian perluasan ISI menjadi Islamic State of Iraq and Levant/Daulah Islamiyah fi al-Iraq wa Sham (ISIL). Levant adalah nama lain dari Sham. Gabungan Syiria dan Lebanon serta Palestina itu lebih dikenal sebagai ISIS. Deklarasi ini sekaligus pernyataan penggabungan Jabhah al-Nusrah, sebagai bagian dari ISIL. Namun karena berbelok dari misi perjuangan, dengan menciptakan perang sektarian di Irak dan Suriah dan penggunaan aksi-aksi kekerasan, Jabhah al-Nusrah/Al-Qaedah Syiria tidak mengakui kelompok ini sebagai bagian darinya lagi. Abu Bakar al-Baghdadi bahkan bersumpah untuk memimpin penaklukan Roma. Pemimpin ISIS Abu Bakar al-Baghdadi ini juga menyerukan umat Islam untuk tunduk kepadanya. Sekitar 500 miliar dinar atau setara dengan Rp5 triliiun lenyap dari Bank Sentral Irak Cabang Mosul ketika ISIS merebut kota di utara tersebut. Kelompok Islam militan itu kini mengantongi dana sebesar dua miliar US Dollar. Dan ISIS mengalami peningkatan pesat dari tahun 2014. Aiman al-Zawahiri—pempimpin tertinggi Al-Qaeda pengganti Usamah bin Laden, pada tanggal 3 Februari 2014 mengeluarkan pengumuman resmi yang menyatakan, Al-Qaeda tidak memiliki hubungan dengan ISIS. Tapi ISIS tetap menganut ideologi Al-Qaeda. Sehingga ISIS disebut sebagai kelompok sempalan al-Qaeda. Perbedaan antara Abu Bakr al-Baghdadi dan Al-Zawahiri tidak boleh disalahartikan sebagai sinyal bahwa ISIS tidak mengakui ideologi Al-Qaeda. Al-Qaeda inti dan ISIS mengejar tujuan strategis yang sama, meskipun mereka mempunyai perbedaan taktis tentang tahapan perjuangan dan perbedaan substantif tentang kepemimpinan pribadi. Pengumuman Al-Baghdadi tentang sebuah “Khilafah” pada tanggal 29 Juni 2014 dan pidato publik pada tanggal 4 Juli 2014, menunjukkan langkah ISIS untuk mengambil keuntungan teritorial. Klaimnya telah membentuk suatu negara Islam adalah untuk melegitimasi tindakan barbar dan membawa makna religius, historis dan ideologis. Dengan menggunakan istilah “khalifah”, ISIS bermaksud untuk mengeksploitasi konotasi agama, sejarah dan ideologi kata, mencapai kembali ke khalifah sejarah di tahun-tahun awal Islam. Hal ini juga sejalan dengan apa yang Usamah bin Laden nyatakan bahwa tahap akhir dari kampanye teror Al-Qaeda yaitu: Pembentukan struktur politik berdasarkan kesalahpahaman tentang agama. Hal ini dirancang untuk mendorong relawan internasional lebih lanjut untuk bergabung dengan gerakan ini. Kekerasan publik telah menjadi tema yang berulang dari gerakan Al-Qaeda. Penggunaan kekerasan oleh ISIS adalah merupakan track record yang serupa dengan kebrutalan Al-Qaeda di Irak. Kita melihat bahwa telah terjadi evolusi Al-Qaeda sebagai seperangkat ide “ekstrem” menyebar melalui serangkaian kelompok dan jaringan sosial yang semakin beragam. Ancaman abadi bagi perdamaian dan keamanan internasional yang ditimbulkan gerakan Al-Qaeda berasal dari kampanye tanpa henti tentang kekerasan teroris. Ancaman berulang dari al-Qaeda dan beberapa kelompok terkait dan ISIS saat ini memiliki kemampuan keuangan dan logistik untuk merencanakan, mendanai, memfasilitasi atau melaksanakan serangan teroris. Perencanaan jangka menengah dan jangka panjang adalah tahapan saat pejuang teroris asing terlibat dengan gerakan Al-Qaeda. Para anggota Al-Qaeda melakukan diaspora ke kelompok lain dan mendirikan kelompok-kelompok baru seperti di Semenanjung Arab dan Al-Shabaab di Afrika. Banyak tokoh senior veteran Al-Qaeda, membawa berbagai keterampilan, kemampuan dan jaringan sosial yang meningkatkan ancaman teroris. Indonesia juga menjadi bagian dari dinamika Timur Tengah tidak terkecuali ketika munculnya ISIS dan perang yang terjadi di Syiria dan Irak. Sukarelawan atau mujahidin Indonesia bukan hanya berasal dari kaum jihadi, seperti sisa-sisa Jamaah Islamiyah dan lainnya. Tetapi ditengarai juga berasal dari golongan Syiah radikal Indonesia. Kelompok ini menuju Syiria bukan untuk bergabung dengan kelompok perlawanan, melainkan untuk membantu rezim Bhasar al-Assad. Eskalasi kegiatan ISIS diperkirakan akan berdampak luas terhadap kegiatan teror di dunia termasuk Indonesia. Sebab utamnya apa yang dilakukan ISIS tidak terlepas dari kepentingan global berbagai negara besar dan negara-negara Timur Tengah dalam rangka menciptakan geopolitik dan geostrategis baru di Timur Tengah. Dan yang lebih penting adalah hadirnya para sukarelawan dari negara-negara Barat khususnya Amerika Serikat, Inggris, Australia, Jerman, Prancis membantu para pejuang ISIS. Pasca konflik di Irak dan Syiria mereka akan menyebar ke berbagai penjuru dunia. Mengulangi kejadian sebelumnya ketika perang antara kaum mujahidin Afganistan dalam mengusir Uni Soviet. Gelombang terorisme internasional kemungkinan akan terulang kembali tidak terkecuali di Indonesia. (*) *) Nuruzzaman, Peneliti Caruban Institute dan Dosen FISIP Unswagatai Cirebon. Artikel ini, penulis merujuk sumber utama: Al-Qaeda Tinjauan Sosial Politik, Ideologi dan Sepak Terjangnya, As’ad Said Ali LP3ES, 2014.

Tags :
Kategori :

Terkait