Uang Lembur di DPRD Tidak Berpayung Hukum

Sabtu 22-08-2015,09:00 WIB
Reporter : Harry Hidayat
Editor : Harry Hidayat

KUNINGAN – Pada saat SKPD (satuan kerja perangkat daerah) lingkup pemkab mendapat jatah alokasi uang lembur, lain halnya dengan para wakil rakyat. Kendati mereka kerap menggelar rapat sampai malam hari, namun tidak mendapatkan jatah uang lembur. Beberapa wakil rakyat menuntut adanya jatah tersebut. Mereka membandingkan dengan jatah uang lembur tiap SKPD yang angkanya masing-masing mencapai ratusan juta Rupiah. Namun, sebagian dari para anggota parlemen daerah itu menuntut lantaran tidak memiliki payung hukumnya. “Kalau untuk anggota dewan tidak ada payung hukumnya. Itu sudah menjadi bagian dari tiga fungsi yang dimiliki, yakni fungsi budgeting, legislasi dan control. Kalau untuk SKPD memang ada payung hukumnya untuk mengalokasikan uang lembur,” ujar Ketua DPRD, Rana Suparman SSos, kemarin (21/8). SKPD atau dinas, lanjutnya, mempunyai kewajiban dalam menyusun rencana kerja yang akan diusulkan dalam APBD. Selain itu, menyusun realisasi anggaran semesteran, LKPJ, LPJ, LPPD dan RKA DASK. Melihat kewajiban tersebut, Rana menilai sebetulnya tugas dinas itu berat secara administratif sehingga jam kerjanya kurang. “Kebetulan ada payung hukum ketika mereka harus menambah jam kerja untuk lembur sehingga dilakukan, dengan alokasi 60 ribu Rupiah per hari sesuai dengan payung hukumnya. Kita hitung saja, misalnya sehari taro ada 10 orang yang lembur, maka sudah 600 ribu Rupiah. Belum makan atau snack. Apa tega biaya makan dibebankan pada uang yang 60 ribu Rupiah itu?” ungkapnya. Jika untuk lembur wakil rakyat memiliki payung hukum, pihaknya pun akan menganggarkan. Dia mengakui, hak para anggota dewan yang tiap bulan dipenuhi sudah berkisar belasan juta Rupiah. Penganggaran dana lembur itu menjadi bahan obrolan para wakil rakyat ketika sedang dalam tahapan pembahasan RAPBD Perubahan 2015. Dalam tiga hari ini, tiga paripurna sudah digelar, mulai dari penyampaian nota pengantar RAPBD-P, pandangan umum fraksi hingga Jumat (21/8) kemarin masuk paripurna jawaban bupati. “Jangan terjebak oleh cepatnya mekanisme pembahasan. Karena per Juli itu pemda sudah menyampaikan KUA-PPAS kepada banggar (badan anggaran) kemudian banggar membahasnya. Struktur pendapatannya, struktur anatomi belanjanya, ekspeditur police dan ekspeditur manajemennya,” papar Rana. Setelah dianggap banggar bahwa itu menopang misi visi Kuningan, lanjut dia, maka dilakukan kesepakatan KUA-PPAS antara eksekutif dan legislatif. Baru kemudian tahapan penyampaian nota pengantar RAPBD-P yang mengacu pada KUA-PPAS. PU fraksi pun mengacu juga ke KUA-PPAS. Begitu juga jawaban bupati mengacu pada pertanyaan fraksi yang mengacu pada KUA-PPAS. “Jadi, itu tahapan saja. Setelah itu masuk pembahasan lagi, sudahkah sinergi antara KUA-PPAS dengan draf RAPBD-P? Tensi pembahasan RAPBD lebih rendah dibandingkan tensi pembahasan KUA-PPAS. Karena optimalisasinya sudah dilakukan di KUA PPAS. Kalau sudah match, ngapain lama-lama. Saya nggak mau pencitraan. Memang tatibnya juga begitu,” tandasnya. Rana menargetkan, 28 Agustus nanti RAPBD-P 2015 diketok palu. Pihaknya ingin awal September nanti pembahasan RAPBD 2016 sudah berjalan sehingga antara November-Desember sudah ada persetujuan. Karena evaluasi gubernur membutuhkan waktu 21 hari. “Kami tidak ingin terjadi seperti tahun sebelumnya, di mana kita harus menunggu Maret atau April, APBD baru bisa direalisasikan. Kalau nuansa lama masih digunakan, berarti predikat WTP tidak ada artinya dong,” tukasnya. (ded)

Tags :
Kategori :

Terkait