Nazaruddin Tersangka Pencucian Uang

Selasa 14-02-2012,01:31 WIB
Reporter : Dedi Darmawan
Editor : Dedi Darmawan

Beli Saham Garuda dari Hasil Korupsi JAKARTA - Muhammad Nazaruddin sepertinya bakal menghabiskan waktu tuanya di penjara. Bagaimana tidak, belum selesai menghadapi persidangan kasus suap wisma atlet, kemarin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan bahwa Nazaruddin kembali ditetapkan sebagai tersangka kasus lain. Tak tanggung-tanggung, Nazaruddin kini dijadikan tersangka dalam kasus pencucian uang pembelian saham Garuda Indonesia. KPK menduga kuat dia bersalah lantaran Nazaruddin membeli saham maskapai penerbangan pelat merah itu dengan menggunakan uang hasil korupsi yang dilakukan Permai Grup, perusahaannya. “Kami menetapkan MN (Muhammad Nazarddin, red) sebagai tersangka,” kata juru bicara KPK Johan Budi di kantornya kemarin (13/2). Menurut dia, penetapan Nazaruddin sebagai tersangka dalam kasus pencucian uang ini adalah dari hasil pengembangan kasus wisma atlet. Kata Johan, uang yang digunakan Nazaruddin untuk membeli saham Garuda Indonesia yang nilainya mencapai Rp300,8 miliar pada saat initial public offering (IPO) diduga kuat merupakan hasil keuntungan dari proyek wisma atlet dan proyek-proyek Permai Grup lainnya yang diketahui merupakan tindak pidana korupsi. Kata Johan, tindak pidana awal dari pencucian uang ini adalah kasus suap wisma atlet. “Seperti yang diketahui, kami terus mengembangkan kasus wisma atlet hingga mengarah adanya tindak pidana pencucian uang. Setelah menemukan dua alat bukti, kami naikkan penyelidikan kasus ini ke penyidikan,” tuturnya. Selain itu pria yang pernah mencalonkan diri sebagai pimpinan KPK itu menerangkan bahwa ini adalah kasus pencucian uang pertama yang ditangani KPK. “Ini adalah terobosan yang kami lakukan,” kata dia dengan nada tegas. Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat ini pun dijerat dengan Pasal 3 atau Pasal 4 jo Pasal 6 UU TPPU Jo pasal 55 ayat (1) kesatu. Di mana pasal tersebut menyebutkan bahwa seseorang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta hasil tindak pidana. Nazaruddin terancam 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp10 miliar. Menurut Johan, KPK sangat berhati-hati dan menimbang masak-masak penggunaan pasal pencucian uang untuk Nazaruddin. Setelah beberapa kali menggelar ekspos atau gelar perkara dalam kasus ini, akhirnya pimpinan dan penyidik pun memutuskan bahwa dua alat bukti dugaan pencucian uang itu sudah cukup meyakinkan. Dia lantas menegaskan bahwa pengembangan kasus anyar ini tidak hanya berhenti pada Nazaruddin saja. Namun KPK berjanji akan terus menelusuri adanya keterlibatan pihak-pihak lain. Tapi saat ditanya apakah pihak Garuda Indonesia atau Mandiri Sekuritas sebagai pihak penjamin emisi kemungkinan besar akan terlibat dalam kasus ini, Johan buru-buru meluruskannya. Menurutnya, kasus ini masih dalam tahap awal dan masih dalam pengembangan. “Tapi ingat, KPK hanya bisa menjerat bila berkaitan dengan penyelenggara negara,” kata Johan. Berkaitan dengan kasus ini, kemarin KPK memeriksa para saksi untuk menggali lebih dalam pencucian uang yang dilakukan Nazaruddin. Mereka yang diperiksa adalah Wakil Direktur Keuangan Permai Grup Yulianis, staf keunagan Permai Grup Oktarina Furi, Direktur Keuangan PT Duta Graha Indah Laurensius Khasanto dan Dirut Mandiri Securitas Harry Maryanto Supoyo. Lebih lanjut, Johan menjelaskan, selain menelusuri dari perkembangan persidangan kasus wisma atlet, dalam menelusuri kasus ini KPK juga banyak menelaah dari data-data yang diberi Pusat Pelaporan Analisa dan Transaksi Keuangan (PPATK). Seperti yang diketahui, upaya pencucian yang dilakukan Nazaruddin terungkap saat Yulianis bersaksi di Pengadilan Tipikor dalam kasus suap wisma atlet dengan tersangka Nazaruddin. Pada sidang yang digelar 12 Januari lalu terungkap bahwa Nazaruddin memborong saham PT Garuda Indonesia. Yulianis mengatakan, Nazaruddin menginvestasikan fee dan keuntungan yang diperoleh dari perusahaan-perusahaan miliknya untuk membeli saham Garuda Indonesia saat initial public offering (IPO). Total uang yang dikeluarkan Nazaruddin Rp300,8 miliar. Dia memerinci bahwa itu hanya diambil dari keuntungan sebagian kecil jumlah perusahaan Nazaruddin. Di antaranya Permai Rata membeli 30 juta lembar saham seharga Rp22,7 miliar, Cakrawala Abadi membeli 50 juta lembar seharga Rp37,5 miliar, Exhartex membeli saham seharga Rp124,1miliar, PT Pacific membeli 100juta lembar saham seharga Rp75 miliar, dan Dharmakusuma membeli 55 juta lembar sahamseharga Rp41 miliar. “Semua dari keuntungan proyek,” kata Yulianis kala itu. Di bagian lain, penerapan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam kasus Nazaruddin mendapat respon positif Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Langkah itu dinilai bisa menjangkau pihak-pihak yang selama belum tersentuh dengan pasal tindak pidana korupsi. Ketua PPATK M. Yusuf mengungkapkan, dengan menggunakan UU TPPU, pembuktianya lebih mudah. “Program asset recovery bisa maksimal. Pemberi dan penerima atau yang dapat manfaat (hasil tindak pidana, red) bisa diproses,” kata Yusuf dalam keterangan di kantornya, kemarin (13/2). Namun Yusuf tidak detil menjelaskan terkait dengan keterlibatan pihak-pihak dalam kasus Nazaruddin. Namun merujuk pasal 6 dalam UU No 8 Tahun 2010, korporasi milik Nazaruddin juga bisa terlibat. Dalam pasal itu disebutkan, pidana bisa dijatuhkan terhadap korporasi dan/atau poersonil pengendali korporasi. Sementara dalam pasal 5 mengatur mengenai pihak yang menerima atau menguasai penempatan harta yang diketahui atau diduga hasil tindak pidana, juga bisa dijerat. Wakil Ketua PPATK Agus Santoso mengatakan, terkait modus pembelian saham yang diduga dilakukan Nazaruddin, KPK harus memastikan bahwa pembelian saham tersebut dilakukan atas nama perusahaan, bukan pribadi. Selain itu, harus dipastikan bahwa keuntungan dari pembelian saham tersebut dinikmati langsung oleh perusahaan. (kuh/fal)

Tags :
Kategori :

Terkait