Ini Aduan Karyawan yang 20 Tahun Kerja, Terus Kena PHK

Kamis 04-08-2016,22:30 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

KUNINGAN – Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang diduga sepihak menimpa salah seorang karyawan swasta, Dedi Setiawan. Pria asal Kuningan yang sudah bekerja selama 20 tahun di bank tersebut melakukan protes dan melayangkan aduan ke Dinsosnaker Kuningan. Kemarin (2/8), Dedi berkunjung ke kantor Radar Kuningan untuk memberikan keterangan pers. Kedatangannya didampingi Ketua Umum DPP Serikat Pekerja Abdoel Moedjid beserta ketua advokasi, Bambang Utomo. Tampak pula Ketua Wilayah 02 Jabar Serikat Pekerja Irwan Lastiawan. “Barusan kita sudah menggelar pertemuan di Dinsosnaker Kuningan. Kita dipertemukan dengan empat utusan dari manajemen yang dimediasi oleh pejabat Dinsosnaker Kuningan,” terang Abdoel Moedjid mengawali pembicaraan. Dia mengatakan, Dedi merupakan korban PHK sepihak. Tak heran jika dirinya menilai manajemen bank telah melanggar UU 21/2000 tentang Serikat Pekerja (SP) dan juga UU 13/2003 tentang ketenagakerjaan. “Pak Dedi ini pengurus pusat serikat pekerja. Berdasarkan UU 21/2000, PHK harus seizin serikat. Perjanjiannya juga ada,” tegas Moedjid kepada Radar. Menurut dia, PHK tersebut merupakan sebuah upaya melemahkan serikat. Terlebih Dedi diberhentikan tanpa ada kesalahan. Tuduhan pihak manajemen terhadap Dedi, akibat mangkir kerja. “PHKnya tanggal 31 Juni 2016. PHK terhadap Dedi akibat dari langkah PHK masal sekitar 2.000 orang se-Indonesia pada tahun 2015. Kedoknya pensiun dini,” duga Moedjid. Tahun lalu, Dedi menjabat regional funding service manager yang meliputi Cirebon , Majalengka dan beberapa daerah Jateng. Saat itu terjadi penghapusan struktur jabatan dan ia ditawarkan untuk pensiun dini. Padahal batas usia pensiunnya masih 10 tahun. “Saya ditawarkan pensiun dini, tapi saya meminta agar ada penambahan materi pesangonnya waktu itu. Lalu ada pertemuan namun tak ada kesepakatan. Mestinya, setelah tidak ada kesepakatan itu, beralih pada penyelesaian lewat pihak ketiga, tapi tak dilakukan,” tutur Dedi. Dalam perjalanan, manajemen justru menawarkan jabatan yang levelnya lebih rendah dari sebelumnya di Majalengka. Dedi menolak dan lebih memilih pensiun dini dengan tuntutan penambahan materi pesangon seperti sebelumnya. Dalam menunggu penyelesaian, ia berkantor di Kuningan karena dekat kediamannya di Babatan Kadugede. “Tapi justru malah keluar surat tugas terhitung 28 April 2016 di Majalengka. Keluar surat panggilan pada bulan Juni, kemudian saya respons lewat email. Pada 31 Mei keluar SK bahwa permohonan pensiun dini saya ditolak dan dibatalkan,” ucapnya. Selanjutnya, muncul surat panggilan kedua di Majalengka yang kemudian Dedi menghadiri. Saat itu dirinya tetap mengajukan pensiun dini dengan harapan ada penyelesaian oleh pihak ketiga sesuai aturan. “Malah kemudian ada surat baru yang menyatakan bahwa saya mundur terhitung 31 Juni 2016 sehingga gaji tak dibayarkan,” ungkap Dedi. Bagi Dedi dan Moedjid, PHK tersebut bisa dianggap skenario sepihak. Pada saat permintaan tambahan pesangon belum inkrah, mestinya berlanjut pada upaya penyelesaian lewat pihak ketiga. (ded)  

Tags :
Kategori :

Terkait