Hukum Tanah Nasional dan Eksistensi Hak Ulayat

Sabtu 10-12-2016,11:09 WIB
Reporter : Husain Ali
Editor : Husain Ali

Oleh: Bakhrul Amal MASYARAKAT adat, atau lebih dikenal dalam hukum Indonesia sebagai masyarakat hukum adat, adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dari perjalanan hukum Indonesia, utamanya hukum tanah nasional. Hal tersebut sudah berlangsung bahkan semenjak dahulu, yakni semenjak masa kolonial. Pada masa kolonial hukum tanah di Indonesia terbagi dalam dua klasifikasi. Pembagian tersebut dikenal sebagai dualisme hukum, yang terdiri dari hukum tanah adat dan hukum tanah barat. Hukum tanah adat mengacu pada hukum adat yang tidak tertulis, sedangkan hukum tanah barat berpangku dengan dasar tekstual dalam buku II KUUHPdt. Melalui pembagian tersebut muncullah kemudian istilah alas hak bagi keduanya. Bagi hukum barat, menurut Boedi Harsono dalam buku Hukum Agraria Indonesia, ada hak-hak barat seperti tanah eigendom, tanah erfpacht, hak opstal, serta tanah-tanah Eropa. Bagi penduduk Indonesia terdapat hak-hak Indonesia, seperti tanah-tanah dengan hak adat, yang disebut dengan tanah-tanah hak adat. Di samping itu terdapat pula tanah dengan hak-hak ciptaan Pemerintah Hindia-Belanda, seperti hak agrarisch eigendom, landerijen bezintrech. Juga adapula tanah ciptaan Pemerintah Swapraja seperti grand sultan. Hukum tanah barat memiliki ciri individualistik. Dia menjelaskan dalam Pasal 570 KUUHPt mengenai hak eigendom bahwasanya tanah tersebut hak individu atas tanah yang bersifat pribadi semata-mata. Berbeda dengan kaidah hukum tanah barat, hukum tanah adat memiliki konsep komunalistik, dengan semangat gotong-royong dan kekeluargaan serta bernuansa religius. Artinya, tanah tersebut bersifat pribadi namun bila kepentingan sosial membutuhkan maka asas kekeluargaan bisa menggugurkan itu demi kebersamaan. PROSES UNIFIKASI Seiring berjalannya waktu, Indonesia kemudian memeroleh kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Kemerdekaan tersebut berakibat pada pengaturan hukum yang berlaku yang tentunya menyesuaikan dengan keinginan Pemerintah Indonesia. Menurut Hans Kelsen, dalam pembentukan hukum, setiap negara selalu mengacu pada teori yang dia buat, yakni Teori Stufenbau atau Grundnorm. Teori tersebut menjelaskan bahwa hukum selalu tercipta dengan pegangan norma hukum yang paling mendasar. Indonesia menyebut norma hukum yang paling mendasar itu dengan sebutan Pancasila. Sesuai sila kelima “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, dualisme hukum di atas dihapuskan dan diunifikasi dalam satu kitab Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Perubahan yang paling mendasar adalah tidak ada lagi Hukum Tanah Barat karena yang boleh memiliki Hak Milik hanyalah Warga Negara Indonesia (Pasal 20 UUPA). Tanah Hak Milik tersebut pun tidak mutlak karena memiliki fungsi sosial (Pasal 6 UUPA). Penguasaan Negara Atas tanah hanya sebatas pengelolaan yang diperuntukan bagi kesejahteraan rakyat (Pasal 2 UUPA). POSISI MASYARAKAT HUKUM ADAT Semangat pembaharuan Hukum Tanah Nasional ini berpedoman pada Hukum Adat. Ciri-ciri pada Pasal 2, 6 dan 20 UUPA tersebut berangkat dari konsepsi komunalistik religius, yang memungkinkan penguasaan pribadi sekaligus kebersamaan. Boedi Harsono menyebut Hukum Adat yang dijadikan pedoman itu telah disaneer. Atau dalam ketentuan Umum III angka (1) disebut sebagai Hukum Adat yang telah disesuaikan dengan masyarakat modern. Penyebutan Hukum Adat tersebut perlu dibedakan dengan istilah Masyarakat Hukum Adat. Masyarakat Hukum Adat diberi porsi khusus yang berbeda. Hal itu bisa kita temukan pada Pasal 3 UUPA. Bahwa dalam Masyarakat Hukum Adat, selama masih ada, diberikan pemilikan tanah Hak Ulayat dan diakui eksistensinya selama tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku. HAK ULAYAT Untuk disebut masih diberlakukan aturan Hak Ulayat harus dipenuhi beberapa kriteria. Boedi Harsono merincinya mulai dari, (1) masih adanya kelompok orang, (2) masih adanya tanah bersama, dan (3) kepala atau tetua adat yang senyatanya diakui oleh warganya sebagai pengemban yang mengelola, mengatur peruntukan, penguasaan, dan penggunaan atas tanah bersama tersebut. Jika tidak masuk dalam ketiga kategori tadi, maka pengakuan Hak Ulayat tidaklah bisa diberlakukan. Kita bisa tengok pengakuan Negara terhadap Hak Ulayat pada kumpulan putusan Mahkamah Agung. Setidaknya diakui terdapat Hukum Adat Karo (Putusan No. 59/K/SIP/1958), Masyarakat Padang Lawas (Putusan No. 329/K/Aip/1957), dan masih banyak lagi. Diakuinya tanah Hak Ulayat ini tentu memiliki hak khusus yang tidak bisa dipaksa diambil. Sebagai contoh, Boedi Harsono mengatakan, pada menjelang tahun 1960 Pemerintah tidak bisa memaksa mengambil tanah Masyarakat Hukum Adat di Waytuba meskipun kepentingannya untuk proyek Pertanian Modern. Masyarakat Hukum Adat tersebut hanya mempersilakan Pemerintah atas tanahnya mereka alang-alang yang tidak bisa diusahakan. Seiiring berkembangnya zaman, eksistensi Masyarakat Hukum Adat beserta Hak Ulayatnya mulai terkikis. Program pendaftaran tanah melalui PP 24 Tahun 1997 menyumbang andil besar terhadap hilangnya eksistensi tersebut. Dimunculkannya pemberian hak dengan pendaftaran sporadik dan sistemik membuat Masyarakat Hukum Adat kemudian membagi dan mempersilakan masyarakatnya memecah tanah untuk kepemilikan. Konsekuensi dari pendaftaran tanah sebagai program Pemerintah tersebut adalah hilangnya konteks tanah bersama, hilangnya unsur kepala adat, dan tentu hilangnya pula Hak Ulayat. Tulisan ini pun sebagai upaya meluruskan penggunaan istilah \'Hak Ulayat\' yang digunakan Wahyudi pada Radar Cirebon edisi 3 Desember 2016, kolom puisi. Wahyudi setidaknya menyebut sebanyak enam kali Hak Ulayat, yang dia pakai cuntuk istilah kepemilikan Hak warga Sukamulya (setidaknya pada paragraf 2, 6, 8, dan 10). Menurut penulis, setelah diketahui sejarah dan arti hukumnya, hal tersebut perlu ditinjau ulang dengan alasan konsekuensi arti menurut tata aturan hukum. (*) *) Penulis adalah dosen Ilmu Hukum di Unusia Jakarta

Tags :
Kategori :

Terkait