Mbah Fanani, Petapa Dieng Pulang Kampung ke Cibogo, Argasunya

Selasa 23-05-2017,14:05 WIB
Reporter : Harry Hidayat
Editor : Harry Hidayat

WAJAH Mbah Fanani terhalang oleh rambutnya yang panjang hingga sepunggung, namun terlihat bersih dan putih. Meski usianya sudah satu abad lebih, pria yang dikenal sebagai petapa Dieng itu terlihat sehat.  JAMAL SUTEJA, Cirebon SOSOK Mbah Fanani atau Ahmad Fanani cukup kontroversial. Banyak hal-hal tabu yang menyelimutinya. Kemarin  dia menyempatkan diri berkunjung ke Kampung Cibogo, Argasunya. Mbah Fanani sendiri berasal dari Tugu Dalam Penggung, Kecamatan Harjamukti. Di Cibogo, dia memiliki banyak kerabat dan sempat menjalani masa kecil di sana. Pria yang berumur 107 tahun itu sejatinya tengah bertapa di Gunung Dieng, Jawa Tengah. Namun beberapa bulan lalu sempat dijemput oleh Rojab dan Toha, warga Indramayu yang mengaku menjadi kerabatnya. Kemudian dari masyarakat Dieng menghubungi pihak keluarga di Cirebon. Pihak keluarga dari Cirebon merasa tidak tahu penjemputan itu. Setelah sekian hari, demi mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, pihak keluarga mengambil Mbah Fanani. \"Sudah empat hari lalu ada di rumah anaknya Nyi Maryam di Desa Panembahan Plered,\" ucap Juru Bicara Keluarga Mbah Fanani, Bambang Wiryawan. Mbah Fanani merupakan sosok yang jarang berbicara. Lebih banyak menggunakan isyarat. Berbicara hanya kepada orang-orang tertentu. Selama tinggal di rumah anaknya Nyi Maryam, beliau meminta untuk dikembalikan ke Dieng untuk melanjutkan pertapannya. \"Sudah berkomunikasi dengan Mbah Fanani dan juga istikharah pihak keluarga, Insya Allah hari ini (kemarin) dikembalikan ke Dieng, mau melanjutkan tirakat satu tahun lagi,\" ucap Bambang. Begitu pula dengan kunjungannya ke masjid di Cibogo yang unik dan belum selesai itu. Merupakan permintaan dari Mbah Fanani sendiri. Salah satu keponakan Mbah Fanani, Muhammad Abdullah Ma\'dun atau Kang Endun yang tinggal di Cibogo, menyebutkan saat bertemu dengan uwaknya itu. Dia melihat garis wajah untuk memastikan keaslian Mbah Fanani. Setelah dilihat ada kemiripan dengan ibunya, yang merupakan adik dari Mbah Fanani. \"Ternyata memang benar,\" ucapnya. Dari sanalah, ada obrolan mengenai masjid kuno di Cibogo. Rupanya Mbah Fanani cukup ingat. Sehingga atas permintaanya sendiri dia ingin berkunjung ke masjid itu. Bagi masyarakat Cibogo, Mbah Fanani sudah tidak asing lagi. Seperti yang diungkapkan oleh H Umar (90). \"Saat saya sunat itu dia (mbah Fanani) yang nabuh genjring. Dia masih remaja,\" katanya. Umar masih penasaran dengan Mbah Fanani meski pernah bertemu di rumah anaknya di Plered. Saat berkunjung ke Cibogo, sayangnya beliau tak keluar dari mobil karena banyaknya warga yang mengerumuni mobil. Kunjungannya cukup singkat. Mbah Fanani yang fisiknya sudah termakan usia itu hanya duduk di dalam mobil. Beberapa petugas juga menjaganya. Beliau dikenal sebagai seorang suluk tharikat. Sejak usia muda sudah senang melakoni tirakat. Namun dari keluarga sempat melarangnya, hingga dia dikunci di dalam kamar. Anehnya, bisa keluar sendiri. Sejak itulah dia mulai hidup berpindah-pindah. Paling lama dan fenomenal itu dia melakoni tapa di Gunung Dieng selama lebih dari 30 tahun. Mbah fanani sendiri keluar dari Cirebon sekitar tahun 1950. Tahun 1971-72 Mbah Fanani pernah ditemukan di daerah Kesambi Lempeng Cilamaya Kerawang. Namanya dijuluki Mbah Jengki. Tahun 1978-79 Mbah Fanani keluar dari Cilamaya. Pada tahun itu dia mampir di desa Jagapura, Kabupatan Cirebon. Kemudian menghilang dan baru dapat kabar sekitar tahun 2004 Mbah Fanani ada di pegunung Dieng. Di Dieng dia melakukan dzikir dan tirakat. Di tempatnya itu dia diurus oleh Ono, dari Pondok Pesantren Tegalrejo. Mbah Fanani dikenal juga memiliki keistimewaan. Salah satunya seperti saat berada di Dieng. Tempat tinggalnya yang berada di tenda dekat kali, tidak terbawa arus sungai padahal saat itu banjir. Selain itu ada yang mengatakan putrinya Nyai Meriam sering ketemu di Cirebon. Saat ada hajat, tiba-tiba ada barang kiriman dari Mbah Fanani. \"Jadi kalau orang yang pernah bertemu di Dieng itu, kalau ketemu di tempatnya awalnya merasa bau, tapi lama-lama merasakan harum,\" tutur Ida, warga Tugu Dalem Penggung, yang pernah menemui beliau di Dieng. Saat tahu Mbah Fanani ada di Plered, dia pun menemuinya. \"Kalau bertemu orang itu gak sembarangan. Dia lihat dulu karakternya baik nggak. Kalau tidak baik, biasanya dia menolak untuk ditemui,\" kata Ida. (*)  

Tags :
Kategori :

Terkait