Dalam pelayarannya, armada Cheng Ho dua kali mengunjungi Ayuttaya, ibu kota Kerajaan Siam (kini Thailand). Bukan hanya pasukan, dia juga membawa ratusan pedagang untuk meramaikan perniagaan kedua negara. Laporan KARDONO S dan BOY SLAMET dari Ayuttaya, Thailand PENELUSURAN jejak Laksamana Cheng Ho membawa kami ke Ayuttaya. Kota segar yang berjarak 100 km dari Bangkok. Di kota yang dulu merupakan ibu kota Kerajaan Siam- atau istilah Tiongkoknya Sien-Lo- itu terdapat kelenteng yang menjadi jejak peninggalan Cheng Ho. Namanya Wat Phanan Choeng alias Kelenteng Panan Choeng. Tapi lebih dikenal dengan nama Kelenteng Sam Po Kong. Letaknya persis di tepi sebelah timur Sungai Chao Praya. Sungai yang memanjang hingga Bangkok. Salah satu bukti bahwa Wat Phanan Choeng merupakan situs penting Cheng Ho adalah pernyataan keluarga Cheng Ho sendiri, Zheng Zhi Hai. Pria keturunan ke-19 Cheng Ho itu menyebutkan, ada sebuah catatan sejarah dari keluarganya di Thailand yang menyatakan hal tersebut. “Seorang anggota keluarga kami yang bernama Zheng Wen mengaku sering diajak orang tuanya untuk berdoa di dua tempat,” ungkap Zheng Hai. Yang pertama adalah kelenteng Sam Po Kong di Bangkok dan yang kedua di Ayuttaya. Menurut Zheng, sudah terjalin persahabatan yang baik antara Raja Phra Inracha dan kaisar Dinasti Ming. Raja Ayuttaya sudah mengakui kekaisaran Dinasti Ming. Bahkan, tiap tahun Raja Phra mengirimkan upeti ke Tiongkok. Karena itu, kedatangan Cheng Ho ke Ayuttaya lebih berfungsi sebagai merawat hubungan baik. Juga untuk memberikan rasa aman kepada orang-orang Tiongkok yang kebanyakan tinggal di kampung pecinan Kota Ayuttaya. Dinasti Ming memang berprinsip, penaklukan tidak berarti harus membunuh raja dan mengobrak-abrik kerajaannya. Diplomasi damai lebih diutamakan. Kaisar Dinasti Ming hanya menuntut adanya pengakuan. Cukup dengan mengakui dan memberikan upeti secara berkala, semua akan baik-baik saja. Bahkan, bagi kerajaan yang memberikan upeti, balasannya adalah persahabatan dan perlindungan dari balatentara Tiongkok yang superpower saat itu. Cheng Ho dipastikan pernah dua kali datang ke Ayuttaya. Yang pertama pada 1407 atau pada pelayaran kedua. Berikutnya pada pelayaran ketiga, 1409. Armada besarnya berlabuh di Bangkok. Kemudian, dengan perahu kecil, Cheng Ho berlayar menyusuri Sungai Chao Praya hingga Ayuttaya. Cheng Ho tidak hanya membawa tentara. Dia juga datang bersama ratusan pedagang untuk meramaikan perekonomian di Ayuttaya. Seperti halnya diplomatik, hubungan perdagangan Tiongkok-Siam juga sudah berjalan baik sejak lama. Bahkan, ada jalur khusus untuk memperlancar perdagangan. Yakni, jalan tembus antara barat laut Ayuttaya di Siam dan Yunnan di Tiongkok. “Total ada sekitar 1.000 kepala keluarga yang berniaga di sana. Barang dagangannya adalah batu permata yang bernama yaqut,” terang Zheng Hai. Batu yaqut adalah permata berwarna merah dan berbentuk delima. Sedangkan komoditas dari Siam yang diekspor ke Tiongkok adalah gajah, gading, cula, bulu ekor burung merak, kura-kura berkaki enam, permata, belerang, kayu cendana, kayu hitam, dan kemenyan. Selama 277 tahun masa kekaisaran Dinasti Ming, sekurang-kurangnya ada 79 kali kunjungan kenegaraan antara Dinasti Ming dan Kerajaan Siam. Termasuk ekspedisi yang dilakukan Cheng Ho dan pasukannya. Di setiap tempat, Cheng Ho meninggalkan kesan positif. Begitu juga di Ayuttaya. Di tempat itu, Cheng Ho berhasil mengambil hati masyarakat setempat. Caranya, menghormati patung Buddha besar di Kelenteng Phanan Choeng. Bahkan, nama kelenteng tersebut kemudian diubah menjadi Kelenteng Sam Po Kong. Warga setempat tidak mempermasalahkan hal itu. Cheng Ho yang bertubuh tinggi besar malah didewakan penduduk setempat. Baik oleh masyarakat pecinan yang sudah ada di sana maupun warga lokal. (*/c5/nw)
Cukup Akui Kaisar Tiongkok, Warga Dilindungi
Kamis 15-06-2017,11:35 WIB
Editor : Husain Ali
Kategori :