Kelenteng Ancol Haramkan Babi dan Petai

Kamis 22-06-2017,13:35 WIB
Reporter : Husain Ali
Editor : Husain Ali

Di kawasan yang kini bernama Ancol, Cheng Ho meninggalkan salah seorang juru masaknya untuk menikah dengan perempuan setempat. Seorang penari Sunda. Kini di lokasi makam pasangan muslim itu berdiri kelenteng Khonghucu. Laporan KARDONO S dan BOY SLAMET dari Jakarta PAGI itu Muhammad Sholeh tengah bersantai di ruang kerjanya. Sebuah kursi di balik sebuah meja menyediakan peralatan sembahyang di Kelenteng Ancol, nama beken Wihara Bahtera Bakti yang berlokasi di kawasan Ancol, Jakarta Utara. Dikepung rumah-rumah mewah, cukup sulit mencari wihara tersebut. Tapi, begitu masuk kompleks, tidak ada petugas satpam yang tidak mengetahui keberadaannya. Selain satu-satunya, cat merah menyala khas kelenteng cukup mencolok mata. Pintu gerbang dihiasi sepasang naga berebut mustika. Kemudian, di bawah naga ada lima lukisan dalam kotak segi empat yang menggambarkan lima elemen: kayu, api, tanah, logam, dan air. Jarak gerbang dengan bangunan utama sepanjang 30 meter ditutup atap memanjang. Sebelum masuk, ada kandang besi setinggi sekitar 1,5 meter yang berisi puluhan burung kecil. Pada saat tertentu burung-burung tersebut akan dijual kepada umat untuk dilepaskan sebagai ritual. Itulah Kelenteng Ancol. Satu-satunya kelenteng di Indonesia yang semua pegawainya beragama Islam. Satu-satunya kelenteng yang melarang daging babi dan petai untuk dibawa, apalagi dimakan di area itu. Kelenteng tersebut dibangun untuk menghormati Sam Poo Soei Soe, juru masak Laksamana Cheng Ho. Juga Sitiwati, istri sang juru masak. Dua-duanya muslim. Dan itulah satu-satunya kelenteng di Jakarta yang menjadi bukti bahwa Laksamana Cheng Ho pernah ke tempat yang kini menjadi ibu kota Indonesia tersebut. Saat kami berkunjung, kelenteng sedang sepi. “Biasanya yang datang bersembahyang orang Khonghucu. Dalam sebulan dua kali ramainya,” kata Sholeh, pegawai Kelenteng Ancol. Menurut dia, umat Khonghucu datang untuk menghormati Da Bo Gong atau Sam Poo Kong. “Itu Dewa Laut yang merujuk ke Cheng Ho,” katanya. Sholeh menjaga bangunan utama kelenteng tersebut. Yakni, makam Sam Poo Soei Soe yang dikuburkan berdua dengan Sitiwati. Makam mereka nyaris tidak terlihat. Sebab, berada di bawah rak dengan dua boneka yang menjadi representasi Sam Poo Soei Soe dan istrinya tersebut. Di depan makam, terletak sebuah altar persembahyangan yang cukup besar. Di bagian belakang kelenteng tersebut, masih ada makam lagi. Yakni, makam Embah Said Areli Dato Kembang dan istrinya, Ibu Enneng. Mereka adalah orang tua Sitiwati. Seperti anaknya, mereka berdua dimakamkan dalam satu liang lahad. Dua-duanya juga muslim. Bukan hanya pemeluk Khonghucu yang datang untuk memberikan penghormatan, tetapi juga kadang umat Islam. “Sering juga kok ada kelompok pengajian yang datang, kemudian tahlilan dan yasinan di sini,” ungkap Suparto, juru kunci makam Embah Said. Namun, jumlah mereka memang tidak sebanyak pemeluk Khonghucu. Pria yang juga seorang muslim itu mengaku bisa memahaminya. “Mungkin karena banyak umat Islam yang tidak tahu. Juga agak sungkan jika datang ke kelenteng untuk mendoakan,” terangnya. Padahal, imbuh Suparto, seluruh penjaga kelenteng yang berjumlah 15 orang adalah muslim. “Jadi, kami sangat terbuka jika ada umat Islam yang berziarah seperti ziarah ke makam wali-wali,” terangnya. Sebab, Embah Said dan anaknya juga seorang ulama yang mendakwahkan Islam di kawasan Ancol dan sekitarnya. Karena menjadi petilasan penyebar Islam, kelenteng itu juga mengharamkan apa yang diharamkan Islam. Yakni, daging babi. “Itu sudah pantangan dan tak ada yang berani melanggar. Sebab, biasanya langsung kenapa-kenapa,” paparnya. Selain itu, banyak yang menganggap Kelenteng Ancol mempunyai aura tersendiri. Kendati tak tahu persis, Suparto mengutip ucapan salah seorang pengunjung. “Katanya, di sini jika berdoa ingin dapat jodoh, biasanya terkabul,” ucapnya, lantas tersenyum. (*/c5/nw)

Tags :
Kategori :

Terkait