Kayu Kapal Cheng Ho di Kelenteng Mbah Ratu

Minggu 25-06-2017,04:05 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

JEJAK Cheng Ho di Surabaya sekarang bisa dijumpai di Kelenteng Mbah Ratu yang terletak di Jalan Demak. Sebuah kayu yang diperkirakan sebagai bagian kapal Cheng Ho masih tersimpan di tempat itu. Kelenteng tersebut merupakan persembahyangan untuk Sam Poo Tay Djien (Tuan Besar Kasim) Cheng Ho. Menurut juru kunci Kelenteng Mbah Ratu Nio Lin Tiong, kayu tersebut disebut pula sebagai kayu aji atau kayu bertuah. “Sebab, dilempar dan dibuang ke mana pun selalu kembali,” kata pria yang akrab dipanggil Teo tersebut. “Setelah beberapa kali dibuang dan kembali, kayu itu disimpan di sebuah perempatan di dekat Pelabuhan Tanjung Perak,” katanya. Tempat tersebut sekarang bernama Prapat Kurung. Kemudian, pada abad ke-17, di tempat itu dibuatkan miniatur kapal Cheng Ho. Sebelum penemuan kayu itu, masyarakat sudah mengenal Cheng Ho. Sebab, sebelumnya Cheng Ho juga mendarat di Tuban, Gresik, baru kemudian Surabaya. Selama muhibah tersebut, anak buah Cheng Ho menularkan life skills sehari-hari. Misalnya cara menangkap ikan, cara bercocok tanam, dan seni pembuatan perahu. Hingga akhirnya masyarakat menghormatinya dengan sebutan Mbah Ratu. Sosok yang tinggi besar dan menguasai laut membuat Cheng Ho dianggap sebagai dewa laut dan disebut Sam Poo Tay Djien. Karena itu, kayu sepanjang 2,5 meter dengan lebar 0,5 meter tersebut dianggap sebagai salah satu tuah dari Mbah Ratu. Masyarakat beranggapan bahwa merawat kayu itu semacam perintah sang dewa laut. Pada 1937, pemerintah Hindia Belanda menganggap kayu dan replika kapal Cheng Ho di Prapat Kurung tersebut mengganggu tata kota. Pemerintah lalu memindahkannya ke Jalan Demak, tempat Kelenteng Mbah Ratu yang sekarang. “Jika saja Cheng Ho bukan seorang muslim, tampaknya masyarakat setempat tak akan menerimanya. Kelenteng Mbah Ratu bisa jadi tak akan di sini,” kata Teo. Namun, saat pemindahan, replika kapal tak ikut dipindah. Alasannya murni teknis. Yakni, keterbatasan lahan yang ditempati Kelenteng Mbah Ratu. Karena itu, hanya kayunya yang kini disimpan dalam sebuah kotak kaca dan selalu dibersihkan secara berkala. Saat ini Kelenteng Mbah Ratu memang menjadi satu-satunya petilasan dari ekspedisi besar Laksamana Cheng Ho di Surabaya. Seperti di Thailand, Malaysia, dan di mana pun, Cheng Ho selalu dianggap sebagai dewa laut yang selalu disembahyangi. Hingga kini, Kelenteng Mbah Ratu masih sering dijadikan jujukan orang-orang yang ingin menghormati pelaut yang bernama asli Ma He tersebut. “Tiap hari rata-rata 50 orang yang datang. Banyak juga muslim yang datang dan mendoakannya secara Islam,” papar Teo. Namun, jumlah pengunjung akan membeludak jika ada festival Cheng Ho. Biasanya berupa pertunjukan barongsai. “Bisa mencapai lebih dari 300 orang,” katanya. Umat Islam Tionghoa di Surabaya menghormati Cheng Ho dengan membangun masjid. Namanya Masjid Muhammad Cheng Hoo. Tempat ibadah itu didirikan di Jalan Gading. (*/c11/nw)

Tags :
Kategori :

Terkait