Cara SUBStore Kenalkan Indonesia ke Anak-Anak Muda di Tokyo

Senin 26-06-2017,13:05 WIB
Reporter : Husain Ali
Editor : Husain Ali

Indonesia dihadirkan pengelola SUBStore di Tokyo via makanan warungan, kopi toraja, serta buku dan piringan hitam. Beberapa artis tanah air juga pernah menggelar acara di sana. Wartawan Jawa Pos (Radar Cirebon Group) GUNAWAN SUTANTO mengunjunginya beberapa waktu lalu.  ================= LETAKNYA di kawasan yang dikenal sebagai salah satu sentra seniman di Tokyo. Persis di meja sebelah, sejumlah anak muda Jepang juga tengah asyik bercengkerama. Tapi, begitu membuka menu, hilang sudah semua “ke-Jepang-an” itu. Yang hadir justru sepenuhnya Indonesia. Ada nasi gila, gado-gado, nasi campur, hingga sambal matah. Tersedia pula olahan Indomie. “Pokoknya, menu makanan di sini seperti warung di Indonesia,” kata Andhika Faisal, si pemilik kafe, sembari menyodorkan es kopi kepada Jawa Pos yang berkunjung Sabtu tiga pekan lalu (3/6). Bagi yang biasa atau pernah nongkrong di Pasar Santa, Jakarta Selatan, nama SUBStore tentu tak lagi asing. Bersama sekolah kopi ABCD, SUBStore menjadi perintis transformasi Pasar Santa. Sebuah pasar tradisional biasa yang kemudian menjelma jadi popup market dan tempat nongkrong paling hit. SUBStore dikenal karena menyediakan barang-barang khas. Mulai buku, vinyl (piringan hitam), action figure, sampai pakaian. Dari Jakarta, mereka mengembangkan sayap ke Bandung. Lalu, berlanjut ke Jepang yang dikelola Andika bersama sang istri, Kumi Takaba. Tepatnya di kawasan Koenji, Tokyo Barat. “Bedanya, di sini kami jual kopi dan masakan Indonesia, bukan sekadar buku dan vinyl,” kata Andhika Faisal, pemilik SUBStore. Kopi dari Indonesia memang diandalkan Andika di kafenya. ”Saya sengaja hanya menyediakan kopi Indonesia. Yang selalu ada toraja,” ujar alumnus visual communication design Universitas Pelita Harapan tersebut. Atas dasar itu pula, Andhika tak menyuguhkan banyak menu kopi. Hanya black coffee. Tak ada menu blended coffee yang aneh-aneh. Juga, tak ada espresso machine. Dia hanya mengandalkan hand drip. Andhika memilih V60 sebagai media menyeduh kopi. ”Saya pilih yang simpel. Sebab, yang ingin saya tonjolkan cita rasa kopi Indonesia-nya,” ujar pria kelahiran 2 November itu. Untuk urusan biji kopi, Andhika mendatangkan langsung kopi toraja dari Indonesia. Dia membeli lewat kenalannya yang punya bisnis biji kopi di Pasar Santa. Kepada tiap orang yang memesan kopi, Andhika tak lupa menyelipkan sedikit storytelling. Dia menyampaikan pesan bahwa kopi yang disuguhkan berasal dari Indonesia. Sebuah negeri penghasil kopi terbesar di dunia. Negara yang konon paling banyak memiliki single origin. Pilihan untuk mengedepankan kopi itu diambil juga karena dia melihat belakangan kopi menjadi ”minuman wajib” di Jepang. Beberapa orang bahkan menganggap budaya minum kopi di Jepang mulai menyaingi budaya minum teh. “Memang orang Jepang mulai serius menikmati cita rasa kopi. Karena itu, black coffee jadi fovorit di sini,” katanya. Menurut Andhika, tak jarang orang kembali ke kafenya karena larut dengan rasa kopi. ”Banyak yang datang kembali dan bertanya apakah saya punya biji kopi lainnya dari Indonesia selain toraja,” ujarnya. Kalau sudah demikian, Andhika sering harus merelakan ”harta karunnya”. Dia mengeluarkan biji kopi yang seharusnya tidak untuk dijual, lalu diseduhkan untuk si tamu. ”Saya memang menyimpan beberapa biji kopi dari berbagai daerah di Indonesia. Tapi tidak untuk saya jual karena tidak banyak,” ungkap penggemar kopi mandailing itu. Pada Sabtu malam tiga pekan lalu tersebut, pengunjung SUBStore cukup banyak. Padahal, jarum jam sudah menunjuk pukul 23.30 waktu setempat. Di salah satu meja tampak beberapa anak muda asal Indonesia. Mayoritas mahasiswa dan pekerja di Tokyo. “Saya suka tempatnya. Tidak besar, tapi kopinya spesial,” ujar Jeff, pengunjung berkebangsaan Kanada yang malam itu datang bersama empat rekannya sesama ekspatriat. Andhika mulai mengelola kafe berukuran 10 x 3 meter itu bermula dari kejenuhannya menjadi karyawan. Andhika dan Kumi memang sejak 2010 tinggal di Jepang atau setahun setelah menikah. Mereka saling kenal saat sama-sama bekerja di sebuah hotel di Bali. Saat ini keduanya tinggal di daerah Suginami-ku, Tokyo. “Kami merasa ingin bekerja sendiri yang sesuai passion. Akhirnya tahun lalu kami buka SUBStore ini,” kenang Andhika. Pasangan suami istri itu sepakat menyewa bangunan di lantai 2 di kawasan Koenji untuk dijadikan kafe. Nama kafe dipilih SUBStore karena konsepnya memang sama dengan yang dikelola adiknya di Jakarta. Konsep SUBStore tak ubahnya popup store kebanyakan. Pasar mereka anak muda yang punya ketertarikan pada musik, buku, mainan, dan piringan hitam. Beberapa barang yang dijual berkondisi baru dan bekas. SUBStore yang ada di Indonesia menjual beberapa barang yang didatangkan langsung dari Jepang lewat Andhika. Untuk makanan, dia dan istrinya yang bergantian masak. Kebetulan mereka berdua punya hobi masak. Untuk koleksi buku dan vinyl, Andhika mendapatkannya dari saling tukar dengan SUBStore di Indonesia serta jaringan sesama kolektor. Andhika mengaku, SUBStore tak hanya jadi jujukan warga Indonesia yang tinggal di Tokyo. Warga lokal juga sering datang. Mayoritas anak muda. Di luar itu, warga lokal yang datang biasanya merupakan orang-orang yang pernah tinggal di Indonesia. “Yang seperti itu datang ke sini seperti mengobati kangen pada masakan Indonesia,” katanya. Yang menjadikan SUBStore jujukan anak muda tak lain karena kafe tersebut sering menggelar event. Terutama pemutaran film dan music performance. Di akun media sosial SUBStore Tokyo, sejumlah seniman dari berbagai negara pernah datang dan tampil. Termasuk beberapa artis Indonesia. Salah satunya Maliq & D’Essentials yang pernah melakukan pengambilan gambar untuk klip video mereka yang bertajuk Senang. Bukan hanya itu. Salah seorang penyanyi terkenal Malaysia Mohammad Noh bin Salleh juga pernah tampil di SUBStore. ”Waktu itu malah mereka tampil di luar kafe. Kondisinya sedang hujan, tapi juga banyak yang datang,” kenang Andhika. Andhika berharap, dengan banyak dan beragamnya komunitas yang datang ke SUBStore Tokyo, makin banyak yang mengenal Indonesia. Dan, itu sudah mulai dirasakan begitu pengunjung menginjak naik anak tangga menuju pintu kafe. Berbagai papan reklame produk asli Indonesia terpampang di sana. Mulai mi ”Indomie Seleraku…” sampai ”Jamu Cap Portret Nyonya Meneer”. (*/c10/ttg)

Tags :
Kategori :

Terkait