Don\'t Sweat the Small Stuff... And It\'s All Small Stuff. Itu judul salah satu buku favorit saya. Ironis, karena saya merasa justru hal-hal kecil bisa jadi penentu hidup-mati. Termasuk posisi kancing kedua pada kemeja... *** Terbit pada 1996, Don’t Sweat the Small Stuff… And It’s All Small Stuff adalah buku legendaris. Ditulis Richard Carlson, yang meninggal pada 2006, buku itu semestinya membantu bagaimana supaya kita tidak puyeng karena hal-hal kecil. Sesuai judulnya: Jangan Khawatir soal Hal-Hal Kecil… Dan Semuanya Adalah Hal Kecil. Maklum, saya mungkin termasuk agak obsessive-compulsive. Kadang memikirkan terlalu detail. Jadi dulu penasaran juga itu buku berguna atau tidak. Bergunakah? Well… Hingga lebih dari 15 tahun kemudian, saya masih orang yang sulit melupakan detail. Silakan tanya rekan-rekan kerja, saya bisa mengomel habis-habisan kalau ada hal-hal kecil terlewati. Wkwkwkwk… Intinya, sehebat apa pun buku seperti itu, kadang kita butuh lebih dari 20 tahun untuk benar-benar memahami makna yang sesungguhnya. Nah, sekarang saya sudah bisa ”melepas” atau ”memaklumi” hal-hal kecil yang menjengkelkan itu. Tapi rasanya bukan karena buku itu. Melainkan karena faktor ”U”. Wkwkwkwk… Anyway, gara-gara ingat soal hal-hal kecil, rasanya kita tetap perlu kok. Dan hal-hal paling kecil kadang bisa menentukan hidup-mati. Pembalap Formula 1, salah sepersekian detik saja, bisa nyawa jadi taruhan. Tim Formula 1, gara-gara satu baut kecil longgar, bisa kehilangan gelar juara dunia yang bernilai ratusan juta dolar AS. Oke, mungkin hidup kita tidak akan seekstrem itu. Tapi, untuk beberapa hal kecil, saya tetap menggunakan sebagai pegangan. Paling gampang, soal memilih baju. Saya bukan pakar fashion. Saya juga bukan orang paling fashionable. Gaya dandan saya dari dulu praktis. Rambut yang tidak perlu disisir. Baju yang cepat dipakai. Bahkan, pilihan parfum tidak pernah berubah sejak 1997 (Versace Blue Jeans, karena baunya tidak bau ”om-om”. Wkwkwkwk…). Tapi, saya punya prinsip-prinsip dalam berpakaian. Belajar dari pengalaman dan situasi sekitar. Karena mau seidealis apa pun, orang tetap akan menilai buku dari cover-nya. Tidak perlu mewah atau menor, bagi saya yang penting ”berkarakter”. Prinsip utama sekarang: Tidak kebesaran, tidak kekecilan. Kecuali kalau sepedaan, maka jersey-nya harus seketat mungkin karena itu yang paling nyaman kalau ngebut. Prinsip selanjutnya: Maksimal tiga warna. Jangan sampai ada lebih dari tiga warna dalam satu kombinasi. Kadang sulit dihindari, tapi sebisa mungkin maksimal tiga warna. Itu bukan berarti harus warna-warna netral. Kebetulan, saya kolektor sepatu kets. Dan saya punya aneka ragam sepatu kets. Saya belajar dari pemain-pemain basket kelas dunia: Kalau punya kaki besar, jangan takut pakai warna yang mencolok. Sepatu berwarna jreng akan lebih memberi efek kalau pemakainya berkaki besar. Kebetulan, kaki saya ukuran 45–46 (tergantung merek). Jadi untuk ukuran Indonesia/Asia masuk kategori kaki besar. Jangan heran kalau ketemu saya pakai sepatu warna pink atau kuning menyala! Tapi silakan lihat, sepatu saya juga mengadopsi prinsip tiga warna maksimal. Sepatu mencari perhatian bukan berarti berebut perhatian! Ini salah satu ilmu yang saya dapat gara-gara sering mendatangkan pemain NBA ke Indonesia sebagai pengelola liga basket… Kalau dipikir-pikir, saya sering juga ya menggunakan angka ”3” sebagai prinsip. Saya pernah menulis tentang ”Hukum 3 Detik” untuk memilih barang, juga bagaimana ”3 Persen Terakhir” bisa menentukan kita ini orang jago atau superjago. Sekarang giliran ”Maksimal 3 Warna”. Wkwkwkwk… Prinsip kecil terakhir berlaku untuk kemeja atau polo shirt. Mau kemeja lengan pendek, lengan panjang, kemeja resmi, dan aneka ragam polo shirt. Kalau melihat sekeliling, prinsip terakhir ini sepertinya banyak diabaikan atau tidak disadari banyak orang. Prinsip yang saya maksud: Memilih kemeja harus berdasar posisi kancing kedua dari atas. Posisinya harus benar-benar pas. Saya mulai sadar ini sekitar 1998, gara-gara serial komedi Seinfeld. Karakter utamanya, Jerry Seinfeld, adalah seorang pengidap obsessive-compulsive. Sangat perfeksionis. Jelek sedikit, kotor sedikit, buang! Nah, dia sangat mengutamakan kancing kedua pada sebuah kemeja. Kalau mau beli kemeja, saat mencobanya, yang paling utama adalah memperhatikan posisi kancing kedua itu. ”Kancing paling penting dan utama pada sebuah kemeja adalah kancing kedua. Itu kancing hidup-mati kemeja tersebut,” tegasnya. Kalau posisi kancing kedua terlalu tinggi, itu bisa tidak nyaman di leher. Atau, karena dia berebut posisi dengan kancing paling atas, maka dia bisa membuat kemeja terkesan terlalu ”kaku”. Mengutip Seinfeld: ”Seperti kamu tinggal sama ibu kamu sampai kamu tua.” Kalau posisi kancing kedua terlalu rendah, kerahnya jadi ”jatuh” ke bahu. Area di leher dan dada atas jadi terlalu terbuka. Percayalah, next time beli kemeja atau polo shirt, perhatikan posisi kancing kedua. Dan merek atau harga mahal bukan jaminan. Saya pernah dikado kemeja merek supermahal, tapi jarang saya pakai karena posisi kancing keduanya terlalu rendah. Hanya dipakai kalau dipadu pakai dasi. Dan saya jarang sekali pakai dasi! Saya tidak tahu, apakah tulisan edisi ini berguna. Setelah beberapa edisi serius, saya merasa sekarang waktunya menulis tema lebih santai. Berguna atau tidak, minimal saya yakin pembaca akan lebih peka terhadap kemeja-kemeja atau orang-orang yang memakai kemeja di sekitarnya. Kancing keduanya terlalu tinggi atau terlalu rendah. Wkwkwkwk… (*)
Hidup-Mati Kancing Kedua
Rabu 20-09-2017,12:14 WIB
Editor : Harry Hidayat
Kategori :