Dianggap Salahi Wewenang dalam UU Pemilu
JAKARTA- Komisi II DPR kurang sreg atas putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) terkait dugaan pelanggaran kode etik Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dewan menganggap putusan tersebut bukan wewenang lembaga yang baru dibentuk melalui UU Pemilu itu.
Wakil Ketua Komisi II DPR Abdul Hakam Naja menyatakan, pihaknya berencana memanggil DKPP sekaligus Bawaslu untuk mengklarifikasi putusan yang menjadi dasar pencoretan 18 parpol dalam verifikasi faktual tersebut. Dalam pertemuan itu, komisi II ingin mendengarkan perspektif DKPP atas putusan yang diambil. \"Kami akan lihat, sebenarnya ranah mana saja putusan hukum diambil. Mana yang ranah MA, PTUN, MK, dan DKPP,\" ujar Hakam di gedung parlemen kemarin (28/11).
Pertemuan itu, kata dia, tidak bermaksud mengintervensi. DPR ingin memproporsionalkan kewenangan DKPP. Apalagi, dalam pertemuan komisi II dengan KPU, tampaknya, lembaga yang dipimpin Husni Kamil Malik tersebut sulit melaksanakan putusan DKPP karena keterbatasan waktu dan anggaran. \"Kami juga akan menanyakan implikasi dan implementasi putusan DKPP,\" tegas Hakam. Dalam hal ini, sorotan utama adalah putusan DKPP yang meminta KPU melakukan verifikasi faktual terhadap 18 parpol yang sudah dicoret dalam verifikasi administrasi. Dengan tidak adanya penambahan waktu sebagaimana perintah DKPP, bisa jadi hal itu justru mengganggu tahap pemilu. \"Pertanyaannya, bagaimana KPU melakukan verifikasi faktual sedangkan administrasi tidak lolos?\" ujarnya.
Dari segi aturan, kata Hakam, putusan DKPP final dan mengikat, sehingga KPU wajib melaksanakannya. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah posisi dan kewenangan DKPP dalam memutus hal tersebut. \"Pertanyaannya, apakah itu kewenangan DKPP\" Sebagian teman menganggap itu bukan kewenangan DKPP,\" tegasnya.
Di bagian lain, Mendagri Gamawan Fauzi enggan berkomentar banyak soal putusan DKPP terkait \"pencopotan\" empat pejabat Setjen KPU setelah terbukti melanggar kode etik. Sepengetahuan dirinya, kewenangan DKPP berkaitan dengan kode etik komisioner KPU. Sementara itu, Sekjen KPU yang merupakan PNS eselon I memiliki aturan, kewajiban, dan larangan sebagai PNS. \"Di situ harus taat pada PP No 53/2010 (tentang disiplin PNS). Saya juga nggak ngerti ada apakah putusan (DKPP) sampai ke Sekjen,\" kata Gamawan di Istana Merdeka, kemarin.
Sebagai solusi, menurut dia, KPU harus membicarakannya dengan DKPP. Sebab, saat ini KPU merupakan badan yang mandiri dan tidak boleh ada yang mencampuri. \"Tapi pendapat saya, DKPP mengawasi kode etik komisioner, bukan kesekjenan,\" terang mantan gubernur Sumbar tersebut.
Terkait dengan pergantian Sekjen, pihaknya menunggu surat resmi dari KPU. Namun, Gamawan mengaku sudah berbicara dengan Sekjen dan yang bersangkutan bersedia berhenti kapan saja. \"Sekarang pun siap. Tapi, dia pensiun Februari,\" katanya.
Gamawan juga berbicara dengan komisioner untuk mengirimkan ke Kemendagri beberapa nama yang dianggap tidak pas berada di sana. Selain itu, ada surat untuk mengganti Sekjen secara terbuka. \"Jadi, akan diumumkan siapa yang berminat menjadi Sekjen, eselon I dari PNS di mana pun. Jadi, akan ada seleksi terbuka,\" katanya.
Dia menyetujui langkah tersebut agar profesional. \"Pokoknya prinsip kami bagaimana melancarkan penyelenggaraan pemilu,\" tegas Gamawan. (bay/fal/c5/agm)