Ego Struktural dan Fungsional

Sabtu 12-01-2013,09:09 WIB
Reporter : Dedi Darmawan
Editor : Dedi Darmawan

Sistem Informasi Managemen RSUDGJ Tak Maksimal KEJAKSAN - Bukannya membenahi pelayanan pada pasien, persoalan di RSUD Gunung Jati (GJ) makin mengemuka. Menurut pengamat kebijakan publik Afif Rivai MA, hal itu terjadi karena ego kepentingan pejabat struktural dan fungsional di rumah sakit pelat merah itu begitu tinggi. “Seharusnya kedua belah pihak (struktural dan fungsional, red) sinergis membenahi pelayanan terhadap pasien agar lebih baik. Tapi karena ego kepentingan masing-masing, akhirnya banyak persoalan mencuat seperti sekarang,” katanya kepada Radar, Jumat (11/1). Afif mengingatkan soal dokter spesialis yang kerap datang terlambat ke layanan poli, sebagaimana hasil sidak BK-Diklat, sampai sekarang publik belum tahu dokter-dokter itu diberi sanksi atau tidak. Tahu-tahu muncul persoalan baru para dokter spesialis mengeluhkan soal kecilnya insentif di RSUDGJ. “Saya yakin masyarakat yang mengikuti pemberitaan kisruh RSUDGJ di Radar Cirebon bakal tertawa. Dokter-dokter itu kok lebih peka menuntut hak ketimbang memaksimalkan kewajiban. Sementara layanan terbaik untuk pasien tak pernah dipikirkan,” paparnya. Menurut Afif, wali kota Subardi ikut bertanggung jawab atas persoalan yang ada di RSUDGJ. Wali kota sebagai pimpinan tertinggi tidak bisa ikut menjembatani komunikasi antara pejabat struktural dan fungsional di sana. Sehingga kesan hubungan tidak harmonis antara individu mereka, begitu kentara di depan mata. “Harusnya wali kota turun tangan. Sekarang internal rumah sakit ribut-ribut, sudah pasti pasien yang jadi korban, tak terperhatikan,” ujar alumni Universitas Paramadina, Jakarta. Sekretaris Komisi C DPRD Kota Cirebon, Taufik Pratidina ST mengungkapkan, pangkal persoalan RSUDGJ selama ini cenderung pada permasalahan administratif. Masalah tidak akan melebar ketika rumah sakit mampu menerapkan Sistem Informasi Managemen Rumah Sakit (SIMRS) dengan baik. Taufik menyebutkan SIMRS di RSUDGJ masih belum maksimal. Salah satu contoh adalah sistem administrasi poliklinik. Mulai awal pasien mendaftar hingga menunggu panggilan, memakan waktu hingga 1,5 jam. Belum lagi antrean yang terakhir, bakal menunggu lebih lama lagi. Dampaknya, dokter yang datang pagi hari, karena melihat di meja belum ada daftar pasien, memilih melakukan visit ke ruangan-ruangan memeriksa pasien. Lama pasien menunggu, lanjut dia, karena proses administrasi hingga ke meja kerja dokter. Sehingga masyarakat menuding mereka lama menunggu dokter. Padahal tidak sepenuhnya kesalahan itu ada di dokter, namun karena faktor lain lambannya administrasi. “Pasien mendaftar jam tujuh, tapi mereka baru dipanggil jam sembilan. Mereka sebenarnya tidak bisa disalahkan karena ketidakmengertian sistem secara menyeluruh,” tegasnya. Taufik berharap, seharusnya direktur RSUDGJ segera menyelesaikan persoalan. Terutama mencari solusi, bagaimana pasien mendaftar tapi tidak perlu menunggu waktu terlalu lama. Selama ini terkesan pembiaran dan tidak ada perbaikan secara serius. Jangan sampai direktur hanya konsentrasi pembenahan fisik gedung, tapi administrasi rumah sakit terabaikan. “Jangan sampai setiap persoalan rumah sakit selalu dilemparkan ke anak buah, tapi direktur lepas tangan, dan itu yang selama ini muncul ke publik,” tandasnya. (ysf/abd)

Tags :
Kategori :

Terkait