Mampukah Teknologi VAR Mengaborsi Peristiwa Aib?

Rabu 04-07-2018,11:30 WIB
Reporter : Husain Ali
Editor : Husain Ali

BAHKAN, Lionel Messi pun belum ada di rahim ibunya tatkala Maradona membuat gol Tangan Tuhan pada Piala Dunia 1986 di Meksiko. Bukan hanya untuk Messi, tapi bagi setiap orang, peristiwa gol paling kontroversial dalam sejarah Piala Dunia itu akan tetap dikenang. Bahkan, maaf, mungkin sampai berpulangnya wasit Ali Bennaceur pun, peristiwa itu akan tetap menjadi buah bibir. Itulah salah satu contoh kejadian dari sekian banyak peristiwa yang ingin “diaborsi” oleh FIFA dengan teknologi VAR (Video Assistant Referee). Jadi, kelak, banyak peristiwa haram di lapangan, yang akan tercegah sebelum benar-benar terjadi. Inilah titik paling kritis untuk sejarah perkembangan dunia sepak bola. Tapi, apakah kejadian haramnya sendiri di lapangan, ataukah justru malah VAR-nya yang akan menjadi aib? Kendati sudah diuji coba hampir dua tahun lalu, termasuk di turnamen gladi bersih Piala Dunia, Piala Konfederasi Rusia 2017, VAR tetap menjadi kontroversi. FIFA yang telah memeroleh legitimasi penggunaan VAR dari IFAB (Internasional Football Association Board), institusi yang paling bertanggung jawab pada peraturan sepak bola, beberapa bulan sebelum Piala Dunia Rusia 2018,  merasa tak punya waktu lagi untuk menunda penerapannya. Masalah pertama dengan penerapan VAR adalah soal biaya. Modal untuk menerapkan VAR bukan hal yang murah. Sedangkan sepak bola adalah olahraga paling murah untuk seluruh warga bumi. Bisa jadi, suatu saat, tim yang gagal menjadi juara di kompetisi liga divisi bawah, akan menuntut badan penyelenggaranya karena dianggap tidak sesuai dengan protokol pertandingan resmi versi FIFA. Kekonyolannya, mungkin akan banyak anak-anak kecil yang bermain bola dengan bertelanjang kaki, akan membuat gestur kotak dengan tangannya untuk menuntut wasit melihat ulang peristiwa dugaan handsball rekannya. Masalah yang kedua, VAR dianggap secara nyata “mengganggu” jalannya pertandingan. Bahkan pemain cadangan di pinggir lapangan pun, bisa dengan mudah menginterupsi bahkan “mengintimidasi” pengawas pertandingan, untuk sekadar memaksa penggunaan VAR pada wasit di lapangan. Belum lagi wasit di lapangan yang kebingungan menerima gelombang suara di telinganya. Asosiasi manajer klub di FA Inggris dan beberapa figur pelatih kompeten di Serie-A Italia, sudah jelas-jelas ingin melawan FIFA dalam penerapan teknologi ini. Alasannya sederhana, VAR bisa mengubah ritme permainan, bahkan atmosfer pertandingan yang tengah berlangsung. Wasit harus menghentikan pertandingan selama sekian menit untuk melihat layar monitor. Dan, jeda waktu itulah yang dianggap sebagai antiklimaks bagi hidupnya ruh permainan di lapangan. Namun, di Major League Amerika Serikat, seratus persen mendukung VAR karena dianggap menyempurnakan keputusan wasit, tak peduli dengan masalah time-out yang terjadi. Masalah ketiga yang justru sebetulnya paling awal dibicarakan para pemangku kepentingan di permainan sepak bola dunia, VAR dikhawatirkan akan membunuh sisi kemanusiaan permainan jelata ini. “Sepak bola akan menjadi permainan robot, penuh pengaturan dan tak ada ruang untuk ekspresi sebagai mahkluk Tuhan. Untuk itulah, sampai kapan pun, selama saya menjadi Presiden FIFA, VAR tidak akan digunakan,” ujar mantan orang nomor satu di FIFA, Joseph “Sepp” Blatter. Kakek kharismatik ini menepati ucapannya, hingga dia dilengserkan dari kursi kerajaannya. Blatter tak sudi ketuk palu untuk usulan pemakaian VAR. Namun sebaliknya, Presiden FIFA saat ini, Gianni Infantino dengan bangga memaparkan narasinya bahwa dengan VAR yang diberlakukan di masa jabatannya, maka sepak bola akan semakin berkembang menjadi permainan paling populer sekaligus disukai warga dunia. “Justru sebaliknya, Piala Dunia dan sepak bola akan lambat laun ditinggalkan atau setidaknya dipalingmukakan oleh manusia-manusia penikmatnya,” ujar Michael Platini, mantan Presiden UEFA yang dikenal sebagai rekan setianya Sepp Blatter. Terlepas dari pro dan kontra, toh VAR sudah terlanjur berlaku dan akan segera dalam waktu dekat mendunia lewat tayangan-tayangan liga populer di seluruh jagat. Dari 54 pertandingan (sampai 16 besar) yang sudah berlangsung di Piala Dunia Rusia 2018, kita sudah sama-sama menyaksikan bagaimana sesungguhnya rupa makhluk VAR ini. Apakah itu menjadi bagian perkembangan sepak bola, atau justru sebagai “pembunuh” naluri atau insting manusiawi. Sebagai catatan saja, 32 tahun sejak terciptanya Gol Tangan Tuhan Maradona, konon wasit Ali Bennaceur masih seringkali terganggu tidurnya memikirkan peristiwa itu. Bahkan, rekannya yang memberi kesaksian, mengatakan, Bennaceur menangis tersedu-sedu di kamar hotelnya setelah menyaksikan berulang-ulang peristiwa itu di layar televisi. Namun di sisi manusiawinya, tiga tahun lalu Maradona bersilaturahim ke kediaman Ali Bennaceur yang dibebestugaskan FIFA sejak peristiwa itu. Kedua manusia ciptaan Tuhan itu saling berpelukan bagaikan saudara, seperti sebagaimana seharusnya manusia berkelakukan. Maradona memberikan kaos bertandangan dirinya sambil membisikkan perlahan kata terima kasih ke telinga Bennaceur dan mendoakan kesehatannya. Apa yang diucapkan balas oleh Bennaceur? Ternyata pendek saja. “Sepak bola telah memberikan kita kehidupan,” sungguh bijaksana kata-kata itu seperti menggambarkan bagaimana seharusnya seorang wasit berkerja. (*)  *CATATAN: Kurniadi Pramono

Tags :
Kategori :

Terkait