Kepala Daerah Tersangka Wajib Dilantik, Begini Regulasinya

Jumat 31-08-2018,07:07 WIB
Reporter : Husain Ali
Editor : Husain Ali

JAKARTA - Kepala daerah terpilih yang menjadi tersangka kasus pidana bukan hal yang baru di Indonesia. Karena itu, UU telah menyiapkan antisipasi agar tidak terjadi kekosongan di pemerintahan. Yakni, apabila kepala daerah terpilih, wakil kepala daerah terpilih atau bahkan keduanya sekaligus menjadi tersangka kasus pidana. Aturan tersebut tertuang dalam UU 10/2016 tentang Perubahan UU Pilkada dan UU 23/2014 tentang Pemerintah Daerah. Kedua regulasi itu mengatur mekanisme pemberhentian hingga pengisian jabatan kepala dan wakil kepala daerah. Tidak bisa serta merta kepala dan wakil kepala daerah terpilih dibatalkan keterpilihannya. Komisioner KPU Ilham Saputra menjelaskan, status tersangka pada Kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih tidak akan menggugurkan statusnya sebagai pemenang pilkada. “Tetap harus dilantik sampai (kasusnya) inkracht (berkekuatan hukum tetap),” terangnya saat ditemui di kompleks Parlemen Senayan Jakarta, kemarin (29/8). Bila keduanya sama-sama menjadi tahanan selama menjalani statusnya sebagai tersangka, pelantikan tetap dilakukan kemudian keduanya langsung dinonaktifkan. Sekretaris daerah akan menjadi pelaksana tugas kepala daerah sampai kasusnya inkracht. Setelah kasusnya inkracht, bila terbukti bersalah, barulah para pemimpin daerah tersebut diberhentikan tetap dari jabatannya. Untuk mengisinya, tidak lagi menggunakan mekanisme pilkada. “Proses penggantiannya lewat DPR(D),” lanjut Komisioner asal Aceh Besar, itu. Partai pengusung kepala daerah tersebut mengusulkan dua paslon kepada DPRD setempat. Kemudian, DPRD memilih salah satu dari dua paslon yang diajukan dengan cara voting. Bila partai pengusungnya tidak punya kursi di DPRD, atau kepala daerah tersebut merupakan calon perseorangan, ada mekanisme yang sedikit berbeda. Dua paslon pengganti akan diusulkan oleh parpol atau koalisi parpol yang memiliki kursi minimal 20 persen di dewan. “Contoh sederhananya itu seperti penggantian Sandiaga (Uno),” tutur Ilham. Partai Gerindra dan PKS akan mengusulkan calon pengganti Sandiaga ke DPRD DKI Jakarta untuk dipilih. Sebagaimana diketahui, Sandiaga mengundurkan diri dari jabatan wagub DKI Jakarta karena mencalonkan diri sebagai wakil presiden republik Indonesia. Sementara itu, penyidikan kasus dugaan korupsi yang menyeret Bupati Tulungagung terpilih Syahri Mulyo bakal melebar. Sebab, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendapatkan sejumlah bukti berupa dokumen terkait proyek yang ditemukan dari hasil penggeledahan di 7 lokasi. Salah satunya, rumah wakil bupati (wabup) terpilih Maryoto Birowo. Juru Bicara KPK Febri Diansyah memastikan penggeledahan itu dilakukan setelah penyidik mengantongi informasi bahwa ada sejumlah bukti-bukti di lokasi tersebut. Informasi yang dimaksud merupakan pengembangan kasus dugaan suap fee pembangunan proyek infrastruktur peningkatan jalan senilai Rp 1 miliar yang menyeret Syahri. “Kalau bicara penggeledahan berarti penyidik menduga ada alat bukti yang terdapat di lokasi tersebut,” jelasnya kepada Jawa Pos (Radar Cirebon Group), kemarin (29/8). Sebelumnya, selain rumah wabup terpilih, KPK juga menggeledah enam lokasi lain. Diantaranya, rumah sejumlah pejabat di Tulungagung hingga kantor kepala dinas. Lalu apa kaitan wabup terpilih Tulungagung dalam kasus Syahri? Sumber internal Jawa Pos di KPK mengatakan, ada indikasi aliran dana dari penyuap Syahri, yakni pengusaha kondang di Tulungagung Susilo Prabowo alias Mbun, yang digunakan untuk biaya pilkada. Nah, sebagai pasangan Syahri, peran Maryoto terus didalami. Pun, tidak tertutup kemungkinan terseret sebagai tersangka. Terkait hal itu, Febri menyatakan, penetapan tersangka baru dalam kasus tersebut tentu saja terbuka. Namun, upaya hukum itu harus didasari minimal dua alat bukti. “Kalau misalnya (Maryoto Birowo) terlibat dan jadi tersangka tentu harus didasari oleh bukti permulaan yang cukup,” ungkap mantan peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) tersebut. (byu/tyo)

Tags :
Kategori :

Terkait