Kitab Injil ditulis dengan Bahasa Melayu dengan huruf Arab Pegon ini, menurut ahli kajian Mennonite Jawa, Lawrence Yoder, kitab tersebut diterjemahkan oleh H.C. Klinkert, seorang misionaris Belanda, sekitar pertengahan abad ke-19. Konon selain Klinkert, Mennonite Belanda juga menugaskan Pieter Jansz untuk menerjemahkan Injil ke dalam Bahasa Jawa. Sampul Kitab Injil itu tertulis: “Perjanjian Baharu Yaitu Kitab Injil Tuhan Kami Isa Almasih”. Yang menarik, Klinkert menggunakan kata “Isa Almasih” (yang juga digunakan dalam Al-Qur’an”), bukan “Yesus Kristus” (meskipun maknanya sama saja). Sementara teks kedua adalah contoh halaman pertama dari Kitab Matius (Matthew).
Dulu, Bahasa Melayu memang menjadi “bahasa dagang” dan “lingua franca” masyarakat di Asia Tenggara (termasuk Malaysia, Thailand Selatan, Singapore, Brunei, dan Indonesia tentunya). Tetapi saya kira menulisnya dengan Huruf Latin, bukan dengan huruf / alfabet “Arab Pegon”.
Menurut dosen antropologi King Fahd University, Sumanto Al Qurtuby dengan bukti Kitab Injil Arab Pegon ini, maka bisa diduga bahwa penulisan Bahasa Melayu dengan huruf Arab Pegon ini bukan hanya populer di kalangan Muslim dan pesantren-pesantren saja tetapi juga di masyarakat umum dan non-Muslim.
Jamak diketahui kalau dalam pesantren-pesantren NU tradisional, imbuh Al Qurtuby, para kiai dan santri menerjemahkan kitab-kitab keislaman klasik yang mereka pelajari di pesantren dengan menggunakan Bahasa Melayu (Indonesia) tetapi penulisannya dengan huruf \"Arab Pegon\" ini.
\"Jadi bagi para kiai/santri NU, hal ini sudah biasa karena sudah menjadi \"makanan mereka sehari-hari\". Saya juga dulu melakukan hal yang sama. Saya kira tradisi penulisan ini masih berlangsung hingga kini di pesantren-pesantren tradisional NU,\" ungkapnya.
Bahkan, Sumanto Al Qurtuby tidak tahu apakah ada Kitab Al-Qur\'an yang diterjemahkan dengan Bahasa Melayu tapi ditulis dengan huruf Arab Pegon seperti Kitab Injil tersebut.
Dalam catatan radarcirebon.com, kurun waktu Awal Modern menyaksikan kedatangan serta gelombang penyebaran dua agama besar dunia: Islam dan Nasrani. Agama Islam mulai disebarkan di kawasan Melayu dan Indonesia di antara masyarakat pedagang di kawasan pesisir tempat orang Muslim dari India dan Arab sudah sejak lama menjalin hubungan perdagangan dan kekerabatan. Penyebaran agama Islam juga merupakan sebagian jawaban terhadap ekspansi orang Barat, khususnya bangsa Portugis dan kegiatan pekabaran injil Katolik Romawi. Semua agama dunia berusaha untuk meningkatkan melek aksara dan hal ini mempercepat penggunaan bahasa Melayu sebagai lingua franca. Para misionaris injil serta cendekiawan agama dari kedua agama dunia itu juga berusaha untuk mengendalikan moral masyarakat setempat.
Sekutu-sekutu pertama VOC adalah para penguasa Muslim yang bermusuhan dengan bangsa Portugis. Yang terutama adalah raja Hitu, sultan Ternate serta penguasa Johor. Buku pembaptisan pertama di bekas kawasan permukiman Portugis seperti Labuha (di pulau Bacan, Maluku) menunjukkan betapa orang-orang dengan nama-nama Katolik bercampur baur dengan mereka yang menyandang nama-nama Belanda Protestan. Hubungan antar-agama, antara orang-orang Muslim dengan Nasrani di dalam wilayah yang dikendalikan VOC biasanya berlangsung secara mantap dan damai. VOC secara ketat menjalankan kebijakan ‘cuius regio, eius religio’; artinya, ‘Setiap kawasan menjalankan agamanya masing-masing’. Hingga abad kesembilanbelas, pendeta Protestan tidak diizinkan untuk melakukan kegiatan pekabaran injil di kawasan penguasa Muslim.
Kedua masyarakat beda agama itu hidup rukun dan damai, tidak hanya di kota-kota yang dikendalikan VOC seperti Batavia, Ambon dan Makassar. Di abad kedelapanbelas, seorang sultan Banten menghadiri kebaktian di gereja hanya karena rasa ke-ingintahuan pribadi. Kota-kota perdagangan seperti Banten juga menjadi ajang penting bagi pertukaran dan dialog keagamaan. Penerjemah Kitab Injil Belanda yaitu pendeta Melchior Leydekker (1645-1701), menghimpun naskah-naskah berbahasa Arab-Melayu di Banten di tahun 1690-an untuk mempelajari bagaimana konsep-konsep teologi serta ungkapan Islam digunakan. Hal ini sudah tentu berdampak pada bentuk bahasa Melayu yang dipergunakan Leydekker dan kawan-kawannya ketika membuat terjemahan pertama Kitab Injil dalam bahasa Melayu di tahun 1733, yaitu terjemahan Leydekker-Werndly yang untuk pertama kali diterbitkan dalam aksara Arab di tahun 1758.
Kegiatan keagamaan dari kedua agama monoteis tersebut mendorong penyebaran bahasa Arab dan Melayu dalam abad ketujuhbelas dan kedelapanbelas. Kemudian, penyebaran agama Islam dan Nasrani khususnya di Indonesia bagian timur, juga memengaruhi pendirian sekolah-sekolah serta penyebaran buku dan melek aksara. (*)