Hukum, bagi Eugen Ehrlich, tidak bisa kita jumpai di dalam undang-undang, tidak pula di dalam keputusan hakim, terlebih di dalam ilmu hukum. Ehrlich, ahli hukum yang merintis sosiologi hukum di Jerman ini, menilai bahwa hukum hanya dapat kita temukan di dalam masyarakat itu sendiri. NARASI purba Ehrilich itu, yang dia rumuskan di Universitas Wina, memeroleh tanggapan positif dari Guru Besar Universitas Diponegoro, Profesor Satjipto Rahardjo. Profesor Satjipto Rahardjo menilai bahwa dengan pendapat Ehrlich, setali tiga uang, artinya hukum tidak akan mampu menjalankan tugasnya dengan baik apabila tertib sosial yang lebih luas tidak mendukungnya. Syahdan, pendapat kedua pakar hukum di atas semakin menguatkan adigium Cicero bahwa hukum dan masyarakat adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, ubi societas ibi ius. Agar hukum terus bisa didukung oleh tertib sosial yang luas, maka hukum harus menjadi alat yang membahagiakan kehidupan masyarakat. Hukum harus terus menyemai tugasnya sebagai problem solving yang bersifat memanusiakan manusia. KONDISI POLITIK Akan tetapi kehidupan masyakarat adalah dinamis. Kehidupan yang bukan hanya tahun per tahun, tetapi sudah hari ke harinya terus mengalami perubahan. Aspek utama yang membuat itu terjadi, di luar persoalan ekonomi global dan perkembangan tekhnologi, adalah dinamika politik. Hal tersebut, masuknya kepentingan politik, tidak menjadi masalah selama masih dalam koridor yang normal dan sesuai dengan apa yang dikehendaki masyarakat. Seperti kata Frederic Bastit, tokoh hukum Prancis, memang sejatinya kebebasan itu sudah ada, hidup sudah dijalani, dan hak milik telah terberi sebelum ada hukum. Yang oleh karena semua itu sudah ada terlebih dahulu, maka masyarakat kemudian menuntut pemegang kebijakan untuk membuat aturan hukumnya. Dan hasil dari kebijakan itu tidak bisa lepas dari proses politik yang dijalankan. Yang menjadi soal justru ketika politik dijalankan bukan sebagai tindakan untuk kebaikan bersama. Tetapi sekadar untuk melanggengkan statusquo dan konsumsi koncoisme. Problem tersebutlah yang membuat politik sebisa mungkin dipergunakan untuk memengaruhi persepsi publik. Segala yang benar bisa menjadi salah dan yang salah bisa berubah menjadi kebenaran. Hukum lantas dipergunakan oleh aktor politik hanya sebagai media pemaksa yang paling efektif untuk menjatuhkan lawan politik, maupun untuk membuat masyarakat lumpuh dan patuh tanpa peduli apa pun alasannya. KEENGGANAN UNTUK PATUH Manakala aturan hukum mulai dipermainkan oleh aktor politik dengan cara ditekan melalui kekuasaan atau pun dirongrong dengan ancaman pengerahan masa, hukum lantas kehilangan makna otentiknya. Keadilan dalam hukum kemudian dinilai hanya sebatas wacana karena pada tataran praktik definisi akan keadilan itu laksana menegakkan benang yang basah, atau terkesan absurd dan tebang pilih. Masyarakat pun, imbasnya, menjadi abai dan tidak lagi percaya pada penegakan hukum. Bagi Bastiat hal itu merupakan suatu masalah yang besar. Masalah yang menyebabkan ketimpangan dan keporakporandaan tatanan kehidupan sosial. Dus, tidak adanya penghormatan pada hukum bisa berakibat pada tidak adanya masyarakat. TIGA TINGKATAN Problem hilangnya kehidupan masyarakat karena nihilnya hukum, dapat diatasi dengan tiga tingkatan. Tingkatan pertama adalah, sesuai saran Bastiat, kehidupan politik harus mampu menggunakan rasionalitasnya untuk tidak mempertentangkan hukum dengan moralitas. Bertentangannya hukum dengan moralitas akan membuat masyarakat kehilangan penghormatan pada hukum. Tingkatan kedua adalah memaksimalkan empat tahapan yang disarankan Lawrence M Friedman. Sistem hukum yang baik itu diharapkan bisa memenuhi substansi (aturan yang sebenarnya, formal dan informal, resmi dan tidakresmi, yang berlaku di masyarakat), prosedur (cara menyelesaikan sengketa, melewati prosedur yang ditentukan oleh undang-undang dan sebagainya), struktur (tulang kerangka dari sistemhukum: organisasi pengadilan dan badan administratif, komposisilegislatif), dan budaya hukum yang berkaitan dengan sikap, harapan, dan pendapat tentang hukum. Setelah hukum dan moralitas tidak dipertentangkan, setelah sistem hukum berupa substansi, prosedur, struktur, dan budaya disusun dengan baik, yang terakahir adalah penerapan hukum. Penerapan hukum ini, mengacu pada Radbuch, harus dilandasi semangat penegakan hukum melihat pada kemanfaatan, keadilan, dan kepatutan. Politik itu baik apabila dipergunakan dengan maksud untuk menyejahterakan rakyat dan dengan tujuan mendistribusikan keadilan secara lebih luas. Maka tujuan yang baik itu tidak boleh dirusak dengan cara-cara yang tidak baik. Jangan sampai hanya karena seremoni tahunan para aktor politik di dalam Pemilihan Umum, dengan pertempuran politik yang mengedepankan “harus menang”, yang kadangkala menjadikan hukum sebagai alat politik, hukum justru kehilangan wibawanya di masyarakat. Hanya ada satu cara agar hukum tetap terhormat. Cara tersebut adalah, menurut Bastiat, dengan menjadikannya sebagai sesuatu yang terhormat. Salah satunya dengan cara tidak membawa dan memanfaatkan hukum sebagai tunggangan kepentingan politik. (*) *Oleh: Bakhrul Amal, penulis adalah kolomnis media massa, penegak hukum
Hukum dan Kehidupan Politik
Selasa 23-10-2018,21:31 WIB
Editor : Husain Ali
Kategori :