Anda Perokok? Jangan Lupa Sejarahnya Rokok Kretek

Minggu 18-11-2018,08:00 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

ROKOK-“…kretek itu tidak ada di AS, tidak ada di Eropa, atau negeri-negeri lain. Hanya ada di sini, khas Indonesia,\" kata Mark Hanusz, penulis buku Kretek: The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarettes. Benar. Bahwa jejak tembakau dalam rokok (kretek) hanya di negeri ini -terutama Jawa- ada sejak lampau. Banyak prasasti tertulis yang telah mengisahkannya. Bahkan, tercatat dalam kisah Roro Mendut, yang menggambarkan seorang putri dari Pati yang dijadikan istri oleh Tumenggung Wiroguno, salah seorang panglima perang kepercayaan Sultan Agung menjual rokok \"klobot\" (rokok kretek dengan bungkus daun jangung kering) yang disukai pembeli terutama kaum laki-laki karena rokok itu direkatkan dengan ludahnya. Serat Subasita karangan Ki Padmasusastra tahun 1914 menjelaskan budaya mengolah tembakau menjadi rokok kretek adalah cerminan dari perilaku kesantunan orang Jawa. Disebutkan dalam serat itu, jika hendak menghisap atau menikmati tembakau lihatlah kanan kiri, jangan dekat dengan wanita hamil dan anak-anak. Jika bertamu ke rumah orang lain, sebisa mungkin jangan merokok. Apabila ada asbak di meja tuan rumah, berarti pemilik rumah memperkenankan tamunya untuk merokok. Namun apabila tak ada, idealnya janganlah merokok. Sementara serat yang lebih lampau, Centhini yang ditulis pada tahun 1814, menyebut olahan tembakau dengan kata “ses” atau “eses”. Hingga detik ini sebagian besar masyarakat perokok di Jawa menyebutnya dengan nama itu. Centhini mengisahkan bahwa tembakau adalah hidangan wajib bagi para tamu di Jawa karena dengan menghisap tembakau (rokok kretek) segala jarak dan perbedaan diri dapat dihilangkan. Obrolan menjadi lebih cair dan memunculkan aspek kekeluargaan yang kental. Sementara banyak juga yang menyebut kretek dengan nama “udud”. Kata itu dapat ditelusuri dalam Babad ing Sengkala tahun 1602, yang menyebut masuknya tembakau ke Jawa dan aktivitas merokok berbarengan dengan tahun kematian Panembahan Senopati tahun 1601. ` Liriknya berbunyi Kala seda Panembahan Syargi, ing Kajenar pan anunggal warsa, purwa sata sawiyose, milaning wong ngaudud. Artinya, “Waktu mendiang Panembahan meninggal di Gedung Kuning adalah bersamaan tahunnya dengan mulai munculnya tembakau/ setelah itu mulailah orang merokok.” Mangkatnya Panembahan Senopati, ayah Sultan Agung, diperingati dengan candra sengkala Gni Mati Tumibeng Siti yang berarti tahun 1523 Saka atau tahun 1601-1602 Masehi. Saat itu bungkus tembakau bukanlah kertas seperti saat ini, tapi kulit jagung yang dikeringkan (klobot), sehingga berbunyi “kretek ... kretek.” Begitulah asal kata “kretek”. Kretek biasanya menemani aktivitas manusia Jawa dalam menikmati –nyeruput- kopi panas yang kental dan manis. Menghisap rokok kretek bahkan telah menjadi kegemaran kaum aristokrat di Jawa. Kita bisa melihat catatan Dr H de Haen, salah seorang utusan VOC yang pada tahun 1622-1623 berkunjung ke Mataram, Sultan Agung berusia 20-30 tahun, berbadan bagus, berwajah tenang, dan tampak cerdas. Ia menjelaskan bahwa Sultan Agung adalah perokok yang b)erat. Hal ini terlihat saat Sultan Agung memeriksa barisan prajuritnya dengan terus menghisap kretek sehingga menghasilkan asap yang pekat. Aktivitas menikmati kretek segera ditiru oleh kaum bangsawan saat itu. Lebih jauh lagi J.W. Winter tahun 1824 juga mengisahkan kehidupan masyarakat Jawa yang tentram dan damai namun mengandung keunikan tersendiri. Pada abad ke-18 kebutuhan akan tembakau sebagai rokok kretek telah menyedot 25 persen dari gaji orang Jawa yang berprofesi sebagai petani. Maklum, kretek tidak semata dinikmati secara pribadi, namun menjadi suguhan wajib bagi para tamu yang sedang berkunjung. Lebih baik tanpa makanan atau minuman, asalkan ada kretek di meja. Kata rokok sendiri mulai muncul kala penjajahan Belanda berlangsung di Indonesia –khususnya di Jawa. Diadopsi dari bahasa Belanda ro’ken yang berarti pipa. Penelusuran radarcirebon.com menemukan tiga versi sejarah rokok kretek. Dan dalam tiga versi itu, hanya ada tiga tokoh yang disinyalir menjadi perintis terciptanya dan berkembangnya rokok kretek hingga sekarang menjadi salah satu industri raksasa di negeri ini. Para tokoh itu adalah Haji Djamhari, Mbok Nasilah, dan Nitisemito. Tidak jelas siapa yang pertama kali menemukan, tapi yang perlu dipastikan adalah bahwa rokok kretek asli ciptaan orang Indonesia. Disini saya akan menggabungkan ketiga versi tersebut secara singkat. Pada sekitar tahun 1870-1880an, di Kudus, Jawa Tengah, seorang Haji bernama Djamhari yang mengidap penyakit asma mempunyai kebiasaan mengoleskan minyak cengkeh pada dadanya. Seiring waktu, Haji Djamhari mempunyai pemikiran bahwa cengkeh yang dioleskan mungkin akan lebih terasa manfaatnya bila masuk ke dalam paru-paru. Beliau kemudian mencoba meracik tembakau dengan dicampur rajangan cengkeh (ada versi yang menyebutkan pada awalnya Haji Djamhari bukan mencampur tembakau dengan rajangan cengkeh, tetapi mengoleskan dengan minyak cengkeh). Seiring waktu, ternyata penyakit asmanya berangsur-angsur membaik. Berawal dari inovasi pengobatannya inilah, Haji Djamhari memilih untuk menjadikannya bisnis rumah tangga. Menurut sejarah, beliau meninggal pada tahun 1890-an, hingga kini asal usulnya masih belum begitu jelas. Di waktu yang sama, yaitu sekitar tahun 1870-an. Mbok Nasilah, seorang pemilik warung di Kudus, Jawa Tengah. Berusaha untuk mengalihkan kebiasaan \"nginang\" para kusir yang selalu membuat kotor warungnya. Beliau mencoba untuk mencampurkan cengkeh ke dalam tembakau dan menyajikannya sebagai rokok untuk pengganti kebiasaan \"nginang\". Campuran ini kemudian dibungkus dengan klobot atau daun jagung kering dan diikat dengan benang. Usahanya itu berhasil, rokok buatan Mbok Nasilah disukai oleh para kusir dokar dan pedagang keliling. Salah satu penggemarnya adalah Nitisemito yang saat itu menjadi kusir. Nitisemito seorang buta huruf, putra Ibu Markanah di Desa Janggalan, Kudus, Jawa Tengah, dengan nama kecil Rusdi. Ayahnya, Haji Sulaiman adalah kepala desa Janggalan. Pada usia 17 tahun, ia mengubah namanya menjadi Nitisemito. Pada usia tersebut, ia merantau ke Malang, Jawa Timur, untuk bekerja sebagai buruh jahit pakaian. Usaha ini berkembang sehingga ia mampu menjadi pengusaha konfeksi. Namun beberapa tahun kemudian usaha ini kandas karena terlilit hutang. Nitisemito pulang kampung dan memulai usahanya membuat minyak kelapa, berdagang kerbau namun gagal. Ia kemudian bekerja menjadi kusir dokar sambil berdagang tembakau. Saat itulah dia berkenalan dengan Mbok Nasilah. Nitisemito lantas menikahi Nasilah dan mengembangkan usaha tembakaunya menjadi usaha rokok cengkeh sebagai mata dagangan utama. Usaha ini maju pesat. Nitisemito memberi label rokoknya \"Rokok Tjap Kodok Mangan Ulo\" (Rokok Cap Kodok makan Ular). Nama ini tidak membawa hoki malah menjadi bahan tertawaan. Nitisemito lalu mengganti dengan Tjap Bulatan Tiga. Lantaran gambar bulatan dalam kemasan mirip bola, merek ini kerap disebut Bal Tiga. Julukan ini akhirnya menjadi merek resmi dengan tambahan Nitisemito (Tjap Bal Tiga H.M. Nitisemito). Bal Tiga resmi berdiri pada 1914 di Desa Jati, Kudus, Jawa Tengah. Setelah 8 tahun beroperasi sejak sekitar tahun 1906-1908, Nitisemito mampu membangun pabrik besar diatas lahan 6 hektar di Desa jati. Ketika itu, di Kudus telah berdiri 12 perusahaan rokok besar, 16 perusahaan menengah, dan tujuh pabrik rokok kecil (gurem). Di antara pabrik besar itu adalah milik M. Atmowidjojo (merek Goenoeng Kedoe), H.M Muslich (merek Delima), H. Ali Asikin (merek Djangkar), Tjoa Khang Hay (merek Trio), dan M. Sirin (merek Garbis & Manggis). Sejarah mencatat di tahun 1938, Nitisemito mampu mengomandani 10.000 pekerja dan memproduksi 10 juta batang rokok per hari. Kemudian untuk mengembangkan usahanya, ia menyewa tenaga pembukuan asal Belanda. Pasaran produknya cukup luas, mencakup kota-kota di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan bahkan ke Negeri Belanda sendiri. Ia kreatif memasarkan produknya, misalnya dengan menyewa pesawat terbang Fokker seharga 200 gulden saat itu untuk mempromosikan rokoknya ke Bandung dan Jakarta. Bisa dikatakan langkah Nitisemito itu menjadi tonggak tumbuhnya industri rokok kretek di Indonesia. (*)

Tags :
Kategori :

Terkait