Pro Kontra Orang Gila Punya Hak Pilih di 2019

Senin 26-11-2018,11:00 WIB
Reporter : Dedi Haryadi
Editor : Dedi Haryadi

JAKARTA-Komisioner KPU Pusat Hasyim Asy\'ari mengatakan penyelenggara pemilu tetap melayani hak pilih penyandang disabilitas, termasuk penyandang disabilitas mental atau orang yang mengalami gangguan jiwa. “Khusus untuk disabiliti mental (sakit jiwa), tetap didaftar (sebagai pemilih). Hanya saja penggunaan hak pilih pada hari-H sesuai dengan rekomendasi dokter yang merawatnya,” ujar Hasyim. Menurut Hasyim, bila pada saat pemungutan suara Pemilu 2019 penyandang disabilitas mental dinyatakan waras oleh dokter yang menangani, maka dimungkinkan menggunakan hak pilih. “Pendataan disabiliti mental tentu lihat situasi dan kondisi. Bila saat pendataan sedang kumat, tentu tidak mungkin ditanya sendiri,” ucapnya. Pendataan, kata Hasyim, akan dilakukan dengan menanyakan kepada keluarga, dokter, atau petugas medis yang menangani penyandang disabilitas mental. “Jadi, penyandang disabiliti mental yang memungkinkan didaftar adalah hanya yang berada di rumah kumpul keluarga atau sedang dirawat di rumah sakit jiwa atau panti,” katanya. Hasyim mengatakan, penyandang disabilitas mental pada dasarnya tak dapat melakukan tindakan hukum, sehingga tindakannya tidak bisa dimintai pertanggungjawaban. Sementara hubungan hukum pada dasarnya adalah hubungan pertanggungjawaban. Menurutnya, dalam hukum, perlakuan terhadap penyandang disabilitas mental dianggap sama dengan perlakuan terhadap anak di bawah umur. Yaitu, dianggap belum dewasa atau tidak cakap melakukan tindakan hukum. Karena itu dalam pengampuan oleh wali atau keluarga yang dewasa atau cakap secara hukum. “Itulah alasan kenapa dalam hal penggunaan hak pilih, disability mental harus ada penjamin oleh pihak yang punya otoritas (dokter) bahwa yang bersangkutan pada hari-H sedang waras dan karenanya cakap melakukan tindakan hukum untuk memilih. Wacana ini sebenarnya juga dipertanyakan para wakil rakyat. \"Semestinya ada kriteria standar yang ditetapkan secara medik. Siapa yang punya hak pilih, siapa yang tidak. Saya kira, ini kita harus berpegang pada standar itu, karena kalau tidak, nanti kita akan mengikuti polemik yang tidak perlu,\" kata Wakil Ketua DPR-RI Fadli Zon di Jakarta. Dikatakan politisi Partai Gerindra itu, wacana orang gila ikut memilih di Pemilu dan Pilpres 2019 ini menjadi kelaziman dalam proses demokrasi. Karena kondisi kejiwaan mereka terganggu berdasarkan vonis dari dokter. Bahkan, dokter sendiri telah memutuskan kalau mereka (orang gila, red) tidak mampu menentukan sikap hak pilih mereka, dan tak boleh dipaksakan. Kondisi seperti ini, kata Fadli Zon, membuat masyarakat bertanya-tanya, kenapa orang yang kondisi kejiwaannya tidak sehat dipaksakan untuk memenuhi hak pilih. Sementara, banyak masyarakat yang namanya belum terdaftar sebagai daftar pemilih tetap (DPT), dan juga ada yang belum mendapat undangan memilih, hal ini harus menjadi perhatian penyelenggara pemilu dan pemerintah. Meski masalah ini tidak diatur dalam Undang-Undang (UU), tetapi maksud dari gangguan jiwa itu apa? Karena itu, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra itu menyarankan agar wacana orang gila ikut memilih ini harus berdasarkan putusan dokter, karena mereka mengetahui masalah kejiwaan. \"Makanya ini derajat yang dimaksud gangguan kejiwaan sampai mana. Iya kan? Kalau misalnya mereka tingkatkan, saya juga bukan ahlinya, dokterlah yang menentukan,\" ungkapnya. Untuk diketahui, wacana kaum disabilitas mental memiliki hak memilih pada Pemilu dan Pilpres 2019 itu tertuang dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 11 tahun 2018, tentang pemilih di dalam negeri. ( gir/jpnn/fin)

Tags :
Kategori :

Terkait