PR (18), perempuan yang diduga berhubungan intim dengan ayahnya, M (53), ternyata melakukan perbuatan itu atas perintah K, suami sirinya.
K sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Lampung Selatan, karena menyebarkan video mesum tersebut melalui pesan WhatsApp.
K saat ini sedang mendekam di Lapas Kelas IIA Metro, karena tersandung kasus narkoba.
Kapolres Lampung Selatan AKBP M Syarhan mengatakan, kisah di balik video hubungan intim yang terjadi antara ayah dan anak kandungnya, tidak seperti yang beredar di masyarakat.
\"Dari hasil penyelidikan Polres Lampung Selatan dan Polsek Kalianda, korban mendapatkan ancaman atau intimidasi dari suami sirinya yang saat ini menjalani hukuman di Lapas Metro, karena tersandung kasus narkoba,\" kata Syarhan saat menggelar ekspose di Mapolres Lampung Selatan, Senin (21/1/2019).
Syarhan mengatakan, PR melakukan hubungan intim dengan M (53), ayah kandungnya, atas perintah K. Dari balik penjara, K menghubungi PR untuk merekam video hubungan intim dengan ayah kandungnya.
Kasus ini bermula saat video hubungan intim itu tersebar di grup WhatsApp. Dalam video itu, seorang ayah dan anak perempuannya diduga melakukan hubungan intim.
Meski kasus tersebut dalam penyelidikan pihak kepolisian. Inses sejatinya adalah hubungan yang melibatkan seksualitas antara pihak-pihak yang berhubungan kekerabatan atau sedarah. Fenomena ini terjadi sejak beribu tahun yang lalu. Sejarah mencatat raja-raja Mesir kuno dan putra-putrinya kerap melakukan inses dengan motif meningkatkan kualitas penerus dan melanggengkan kekuasaan.
Contohnya adalah perkawinan Ptolemeus II dengan saudara perempuannya, Elsione. Hal seperti ini juga ada di ranah mitik, seperti dalam kisah Dewa Zeus yang menikahi kakak kandungnya sendiri, Hera.
Namun, yang perlu ditekankan, inses yang melibatkan dua orang dewasa yang bersepakat—misalnya adik-kakak—adalah hal tabu, tapi tak ada pihak yang menjadi korban.
Namun, lain halnya dengan inses yang melibatkan pemaksaan. Ia termasuk ke dalam ranah kejahatan seksual. Kejahatan inses ini kerap terjadi pada perempuan dan anak perempuan yang disertai pemaksaan, ancaman, serta kekerasan. Mulyana Kusumah dalam bukunya Kejahatan dan Penyimpangan memasukkan kejahatan inses ke dalam kategori seductive rape.
Menurut penelitian Dina Afriani, sarjana hukum dari Universitas Sumatera Utara, penyimpangan seksual ini biasanya dipicu oleh faktor-faktor kompleks para pelakunya.
Dalam penelitiannya mengenai aspek yuridis dan kriminologi soal hubungan seksual sedarah yang dilakukan ayah kandung terhadap anak kandungnya, Dina menyebutkan beberapa faktor internal penyebab kejahatan seksual tersebut. Akar dari permasalahan ini, menurutnya, adalah adanya ketimpangan hubungan antaranggota keluarga, diikuti faktor ekonomi (kemiskinan).
Faktor lainnya adalah adanya gangguan psikologis dari pelaku inses. Gangguan psikologis ini dapat berupa hasrat seks terhadap anak-anak (pedofilia), juga hiperseks.
Contoh dari hiperseks tersebut terlihat pada kasus kekerasan seksual antara laki-laki Malaysia yang dijatuhi hukuman 12.000 tahun penjara tersebut. Sedangkan faktor kemiskinan dan efek lingkungan terjadi pada perkara inses anak dan ibunya sendiri di Jambi, 2008 lalu. Kasus tersebut mengakibatkan kehamilan pada si ibu.
Sementara itu, menurut catatan KPAI, sepanjang tahun 2005-2010 terungkap beberapa kasus inses di Aceh dan Sumatera Utara. Pada 2009, beberapa kasus terungkap di Kecamatan Nisam, Aceh Utara: seorang anak diperkosa dan dibawa lari oleh abang iparnya. Di Sumatera Utara, juga ditemukan inses antara anak di bawah umur dengan ayahnya yang mengakibatkan si anak hamil.
Indonesia sendiri punya undang-undang yang mengatur permasalahan ini. Pemerkosaan atau persetubuhan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak kandungnya itu telah diatur dalam pasal 294 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) dan pasal 287 KUHP.
Dalam peraturan pasal 294 KUHP disebutkan barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa, atau dengan orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya atau dengan bawahannya yang belum dewasa, diancam pidana penjara maksimal tujuh tahun.
Sedangkan menurut pasal 287 KUHP, pemerkosaan terhadap anak yang belum berumur 15 tahun, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Meski sudah ada undang-undang yang diharapkan dapat mengatasi kejahatan seksual ini, inses termasuk perkara yang jarang dilaporkan jika dibandingkan dengan jenis kekerasan seksual lainnya. Alasannya adalah aib yang dianggap akan membelenggu keluarga mereka setelahnya.
Anak perempuan menempati posisi paling rentan terhadap potensi kekerasan yang dilakukan oleh anggota keluarga lain. Anak perempuan juga biasanya berada dalam posisi pasif. Pada akhirnya, inses dengan segala manipulasinya akan mengakibatkan sejarah kelam bagi si anak dan sangat berpotensi menimbulkan gangguan mental dan juga fisik.
Dina Afriani mencatat beberapa gejala paling umum yang terjadi pada korban inses, meliputi hyper arousal berupa depresi dan munculnya reaksi emosional, instrusion berupa kekacauan ingatan dikarenakan korban susah mengontrol pikirannya, dan numbing atau mati rasa.
Ketiga hal itu berpengaruh terhadap gangguan kesehatan dan mental, serta hilangnya konsep diri dan kepercayaan terhadap diri sendiri. Salah satu jalan penyembuhan yang dapat dilakukan kepada korban inses adalah dengan memisahkan antara korban dengan pelaku. Hal ini diperlukan untuk memulihkan mental korban inses agar tidak tertekan atau takut terhadap pelaku. Selain itu, dibutuhkan juga terapi atau konseling.
Masalahnya, inses masuk ke dalam ranah hukum pidana, sedangkan segala hal yang berkaitan dengan hukum acara pidana diperlukan adanya pembuktian yang disamakan dengan pembuktian kejahatan pada umumnya. Padahal, seperti disebut di muka, kejahatan seksual inses termasuk kategori perkosaan seduktif. Tindak kejahatan kerap kali bersifat subtil, sehingga seakan-akan korban tidak dipaksa dan sukarela mengikuti kehendak si pelaku. (*)