Bagi orang Indonesia, makam menempati posisi sakral. Ia juga jadi lambang akulturasi pelbagai kebudayaan.Namun sayangnya jejak lain Sunan Gunung Jati dalam melakukan syiar Islam di Cirebon banyak yang terbengkalai. Hingga kini rupanya belum ada niat dari pihak Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, maupun Pemerintah Kota Cirebon untuk menggali situs-situs sejarah tersebut. Situs-situs yang dimaksud adalah keberadaan sejumlah makam kuno yang tersebar di beberapa desa di Cirebon. Misalnya di kawasan padat penduduk Jalan Kanggraksan Kecamatan Harjamukti terdapat beberapa makam kuno berukuran tidak lazim yakni lebih besar daripada makam biasanya. Penduduk setempat memprediksi makam tersebut merupakan kubur para pengabdi setia Sunan Gunung Jati saat menyebarkan agama Islam di Cirebon. Sementara sebagian orang menyebutkan, makam tua itu berisi benda-benda pusaka yang sengaja dikubur di sana untuk menghindari jarahan kaum penjajah. “Sampai sekarang belum ada kejelasan apa dan siapa yang terkubur di balik makam kuno itu,” tutur H Karya, warga setempat, Rabu (10/7). Makam-makam kuno itu masih berdiri utuh di sana karena warga sekitar masih menaruh peduli untuk sekadar membersihkannya. Leluhur negeri ini memandang kuburan bukan sekadar gundukan tanah dan tempat menimbun orang mati. Bila kuburan dianggap sepele, tidak mungkin para cendekiawan Jawa masa lampau menelurkan sinonim kuburan lebih dari lima, yakni kramatan, makaman, hastana, pasarean, dan jaratan. Sederet sinonim ini tertuang pada koran Darmo Kondo yang terbit di permulaan abad ke-20. Catatan yang lebih lawas, Babad Tanah Jawa, juga melukiskan kesakralan makam sebagai pusaka keraton: \"Betapa sedihnya hati saya bahwa semua pusaka telah diambil oleh putera saya raja (Amangkurat Mas). Tetapi, saya tahu bahwa sekalipun semua barang pusaka yang lain pun diambil, namun kalau saja Masjid Demak dan Makam Adilangu tetap ada, maka itu sudah cukup. Hanya dua inilah yang merupakan pusaka sejati Tanah Jawa.\" Saking lekatnya relasi antara agama dengan makam, kakek moyang kita tak segan pula menaruh makam berdekatan dengan ruang sembahyang. Lihat saja di sekitar masjid Kota Gedhe, disemayamkan jasad para peletak dasar kerajaan Mataram Islam, yakni Ki Gede Pemanahan, Panembahan Senapati, dan Sunan Seda ing Krapyak. Selain itu, dijumpai pula makam Sultan Hamengku Buwana II, Pangeran Adipati Pakualam I, serta sejumlah besar makam keluarga raja Mataram lainnya. Dalam struktur ruang Keraton Plered (1625-1677) yang didirikan Sultan Agung, Inajati Andrisijanti dalam Arkeologi Perkotaan Mataram Islam(2001) juga menemukan makam kuno di sebelah barat reruntuhan masjid. Kenyataan ini membuktikan bahwa kombinasi masjid dengan makam menandakan orang Jawa begitu menghormati jasad manusia. Sekalipun raganya sudah berkalang tanah, tapi ruhnya diyakini masih hidup dan membersamai (ngemong) anak-cucunya dalam menentukan garis nasib di alam nyata. Makam bayi (trek-trekan) yang bercokol di bekas masjid juga dirawat dengan baik. Realitas ini dapat ditemukan di Kauman, Mangkunegaran Surakarta. Kala tertentu, sebagian orang masih menziarahi makam yang berada di dalam bengkel itu. Penduduk setempat tak berani mengutak-atik, terlebih meratakannya dengan tanah. Diyakini, yang dikubur di sini ialah buah hati Gusti Mangkunegara IV. Keterangan lisan ini ternyata cocok dengan fakta yang tersurat dalam Babad Lêlampahanipun Radèn Mas Arya Gôndakusuma (MN IV 1853-1881): “Kala kagungan putra kaping 14 miyos putri, seda sareng kalihan ibu, ing malem Jumuwah Kaliwon, wanci jam 3 tanggal kaping 27 wulan Sapar, ing tahun Jimakir, ongka 1778. Layonipun raden ayu wau kasareaken ing ardi Mangadeg, putrinipun wonten ing Masjid Kauman ler. Terjemahan bebasnya: “Ketika melahirkan anak yang ke 14, yang meninggal bersama ibunya, di malam Jumat Kliwon, pukul 3 tanggal 27 bulan Sapar, tahun Jimakir, 1778. Jenazah raden ayu disemayamkan di Ardi Mangadeg, putrinya di Masjid Kauman Ler.”
Betapa Pentingnya Batu Nisan dan Makam Para Wali
Rabu 23-01-2019,00:18 WIB
Editor : Dian Arief Setiawan
Kategori :